
Pemberitaan unjuk rasa di Indonesia ditayang di Taiwanplus.News atau NHK Japan. Terus terang, pemberitaan spot yang kering tanpa cover both side, tanpa melihat sisi lain dari apa yang terjadi di sebuah negara, ini tidak layak untuk disiarkan, dalam konteks di tengah perkembangan dunia yang sulit menghindari proxy ekonomi antarnegara.
Berita itu seolah meluncur seperti berita spot kriminal atau kejadian, yang layak tayang setelah hanya memenuhi 5W+1H. Padahal, sisi kelengkapan yang memenuhi sisi kepantasan sebagai sebuah berita politik atau berita ekonomi yang utuh memerlukan keseimbangan yang lebih dalam. Apalagi isu isu yang diangkat tidak sesuai dengan realitas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah suatu negara. Semua telah terbantah.
Jika kita mengingat, saat peace journalism berkumandang lebih dari satu dasawarsa lalu, pemberitaan seperti itu seyogianya mempertimbangkan sisi lain “kekerasan” yang terjadi di bidang ekonomi. Memang bentuknya bukanlah kekerasan seperti halnya fisik. Namun, di bidang ekonomi berita berita bisa menjadi sebuah pukulan mematikan. Meski bukan dalam bentuk fisik, tapi pukulannya memberikan impact yang bisa berpotensi negatif.
Berdasar pengalaman, hal tersebut berpengaruh pada sentimen ekonomi, baik pasar maupun sentimen investor. Hal hal penting yang dibutuhkan setiap negara saat ini.
Seperti halnya penerapan peace journalism tersebut. Dalam konteks lain, misalnya pada daerah konflik ataupun yang berperang. Tidaklah bisa jurnalisme itu hanya menekankan pers sebagai industri saja, yang hanya memenuhi standar berita marketable atau kaidah jurnalistik semata. Tapi juga menyertakan hal-hal yang lebih objektif yang terjadi pada suatu peristiwa. Bukan pula menonjolkan kejadian resiprokal yang seolah mengadu dua sisi yang berlawanan, yang menimbulkan korban.
Tayangan unjuk rasa itu memang terjadi juga. Malu rasanya menontonnya. Tapi sebagian kecil mereka, yang juga saudara saudara kita tampak senang. Tampak merasa menang dengan berita semacam itu. Berita yang sebetulnya tanpa malu membuka catatan pribadi diri sendiri dan menulis dengan tebal sebuah kebanggaan melakukan perlawanan terhadap negeri sendiri. Perlawanan apa? Sebelumnya semua telah terbantah.
Padahal, baru saja selang beberapa hari sebelumnya, nama baik Indonesia diharumkan dengan prospek ekonomi yang cerah saat Presiden Prabowo diwawancarai pendiri Bridgewater Associates Ray Dalio, dalam acara Dubai Forum Internasional World Governments Summit 2025.
Atau pada saat bersamaan kita menayangkan berita keberhasilan negara kita menekan inflasi terendah di dunia. Juga pertumbuhan ekonomi yang mampu bertahan di atas rata-rata dunia. Kita juga menjawab keraguan tentang pertumbuhan ekonomi 8% dengan berbagai terobosan program reformasi ekonomi. Namun semua seperti tidak menjadi bahan cover both side, yang membuka mata objektivitas.
Berita berita yang kontradiktif soal Indonesia Gelap tidak saja mengabaikan upaya recovery ekonomi bangsa melalui program reformasi ekonomi Indonesia, tapi juga menunjukkan hilangnya prinsip prinsip anak bangsa yang seyogianya berpihak pada tanah tumpah darahnya sendiri.
Mengapa keberpihakan itu menjadi hal yang sangat penting? Karena saat ini, di tengah situasi geopolitik internasional yang tidak menentu, konsolidasi bangsa harus dilakukan. Bahkan di berbagai negara maju selain mengkonsolidasi bangsa sendiri, juga melakukan kerjasama regional untuk mempertahankan kebutuhan rakyatnya. Bukan malah melakukan hal yang kontraproduktif terhadap konsolidasi bangsa, dengan menginterupsi proses konsolidasi yang tengah terjadi saat ini. Yang seharusnya masalah ini sudah selesai dan tak perlu dibahas lagi.
A Country at War with Itself
Ada banyak kisah negara yang berperang dengan dirinya sendiri. Yang terbesar, bahkan ditulis dalam sebuah buku Antony Altbeker adalah krisis di Afrika Selatan: a country at war with itself.
Berkaca pada kondisi di Afrika ini, seyogianya berita berita domestik menjadi urusan dapur kita sendiri.
Kita ini bangsa yang unik. Apapun ketegangan bisa cair. Secair kopi yang diaduk seperti badai dalam gelas. Makin lama diaduk campuran makin rata. Meski tanpa gula dia tetap terasa cadas nikmat. Jika diberi gula dia akan mendesis. Apalagi diminum sambil memakai sarung dan satu kaki kita angkat ke kursi. Piring kecil menyertai, menghirup kopi dengan uapnya yang mengepul. Tak perlu kita mengingkari kenikmatan yang diberikan Tuhan ini.
Tafsir komunikasi kita memegang teguh budaya timur yang santun. Dan sangat jarang diterjemahkan dalam bahasa politik yang (maaf) cenderung arogan. Sebagai negara religius qolbu kita terbuka, melihat mendengar dan merasakan suara hati.
Kita menghargai simbol perdamaian, merpati yang terbang membawa pedang menunjukkan kita yang selalu rindu akan kehidupan penuh damai. Atau the broken rifle yang sengaja ditinggalkan oleh para pejuang di balik pintu karena kita sudah lelah berperang dengan diri sendiri. Hancurkan senjata. Kita butuh rekonsiliasi nasional. Jangan kita bawa genderang perang, karena kita menolak jauh jauh menjadi a country at war with itself.
Kita tidak usah senegarawan Mandela yang dengan sabar dan tabah keluar penjara tanpa dendam setelah mendekam selama 27 tahun. Kita hanya butuh dendam itu tidak menjadi urusan kolektif yang memicu perdebatan horizontal karena perbedaan. Atau mempolarisasi yang sudah rukun. Sikap berbeda adalah keniscayaan yang memperkaya. Tinggal caranya dalam menyampaikan, karena tak seorang pun harus mati karena penyampaian pendapat.
Sejarah bangsa kita cukup dengan berbalas pantun cebong dan kampret. Ataupun perdebatan antara yang Kanan dan yang Kebhinekaan, yang seolah tak pernah berhenti, dari anak anak kita duduk di bangku SD sampai mereka lulus SMA. Namun semuanya toh berakhir juga.
Ibarat selesai main gobak sodor, para anak bangsa udah selesai mainnya. Udahanlah. Lalu semua pulang ke rumah. Mandi. Membersihkan lumpur dan debu. Besok mereka bermain lagi.
Begitu kira kira, ketika kita melihat Ahok dan Anies tertawa ngakak. Dan berpelukan seperti teletubies. Atau Rocky Gerung yang lompat menuju podium. Diikuti Bupati Masinton bersalaman dengan Wapres Gibran.
Atau kita yang sudah kembali seperti dulu. Berbicara tentang Trump yang membuat pagar perbatasan dengan Meksiko atau melihat Desy Ratnasari akrab dengan Ruben Onsu. Kita ramu semua di meja sambil minum kopi.
Saat ini, kita sebetulnya sudah lebih maju untuk menghargai sikap-sikap yang modern dan rasional dengan meninggalkan politik identitas, setelah era cebong kampret berlalu.
Kita memahami rasa dendam itu seperti minum racun dan menunggu orang lain mati. Kalimat yang masih jadi perdebatan siapa yang pertama kali mengungkapkannya ini terasa mengena untuk menggambarkan bahwa dendam itu makan dalam. Dia bisa meracuni dan memicu konflik jangka panjang.
Kita baru saja selesai melaksanakan hajat besar dari Pemilu hingga Pilkada. Saatnya kita bekerja mengisi kemerdekaan. Mengawal program reformasi ekonomi yang sangat menentukan masa depan bangsa. Mari duduk dan menikmati secangkir kopi, sambil menunggu pidato Presiden Prabowo Subianto. (*)
Post a Comment