Tambang Batu Ilegal di Ketapang Atas: Sampai Kapan Dibiarkan?



Bandarlampung| - Di balik tanjakan PJR, Ketapang Atas, Kelurahan Way Gubak, Kecamatan Sukabumi, aktivitas tambang batu yang diduga ilegal terus berlangsung tanpa henti. Meski sudah berjalan lebih dari dua bulan, tak ada tanda-tanda tindakan dari pihak berwenang. Warga mulai geram, sementara ancaman longsor dan kecelakaan mengintai setiap hari.

AS, tokoh pemuda setempat, menyatakan keresahannya. “Setahu saya, tambang itu tidak pernah punya izin. Kenapa dibiarkan? Ini membahayakan, bukan cuma lingkungan, tapi juga nyawa orang,” katanya, Sabtu (4/1/2025).

Debu, Longsor, dan Jalan Licin: Hidup Warga Jadi Taruhan

Bagi warga Ketapang Atas, keberadaan tambang ini lebih dari sekadar masalah administratif. Kerusakan lingkungan mulai terasa. Jalanan penuh debu saat kering, dan licin berbahaya ketika hujan. Batu kerikil yang berserakan di jalan kerap membuat pengendara terjatuh.

Seorang ibu rumah tangga yang enggan disebutkan namanya mengaku was-was setiap kali anaknya berangkat sekolah. “Kalau hujan, jalanan seperti perangkap. Licin, penuh batu. Saya khawatir anak saya celaka. Tapi, kami mau lapor ke mana?” katanya dengan nada putus asa.

Tak hanya itu, warga juga takut longsor yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Posisi tambang yang berada di jalur curam dan padat kendaraan memperparah risiko ini.

Suara Pedas Pengamat: Pemerintah Harus Bangun dari “Tidur”



Ir. Almuhery Ali Paksi dari Jaring Kelola Ekosistem Lampung (JKEL) tak segan melontarkan kritik tajam. “Bagaimana mungkin tambang ilegal di jalur utama kendaraan dibiarkan? Ini soal nyawa dan lingkungan. Pemerintah provinsi harus segera bangun dari ‘tidurnya’ dan bertindak sebelum ada korban jiwa,” tegasnya.

Andry Setiawan, SH, pemerhati lingkungan dan pengamat hukum, menyoroti dampak ekonomi dan sosial dari tambang ilegal ini. “Tambang tanpa izin merugikan negara dan masyarakat. Kerugian lingkungan, konflik sosial, dan dampak jangka panjangnya jauh lebih besar daripada keuntungan sesaat yang diraup pelaku,” jelasnya.

Ia menambahkan, sesuai UU Nomor 3 åTahun 2020, pelaku tambang ilegal dapat dijerat hukuman 10 tahun penjara dan denda hingga Rp10 miliar. Namun, lemahnya pengawasan membuat sanksi ini tidak memberi efek jera.

Warga: Kami Hanya Ingin Aman dan Nyaman

Bagi masyarakat Ketapang Atas, permintaan mereka sederhana. Mereka hanya ingin hidup aman tanpa ancaman dari aktivitas tambang ilegal. “Kami bukan minta banyak, hanya ingin jalanan bersih, anak-anak kami aman, dan lingkungan kami tidak rusak,” ujar salah satu tokoh masyarakat.

Desakan kepada Aparat Penegak Hukum (APH) dan instansi terkait terus mengalir. Masyarakat berharap tambang ini segera ditutup sebelum terjadi bencana yang lebih besar.

“Harusnya pemerintah lebih peduli. Kalau dibiarkan, nanti ada korban, baru mereka sibuk. Jangan tunggu bencana datang,” pungkas seorang warga.

Saatnya Bertindak Sebelum Terlambat

Hingga berita ini ditulis, belum ada tindakan konkret dari pihak terkait. Namun, masyarakat Ketapang Atas terus memperjuangkan hak mereka untuk hidup dalam lingkungan yang aman dan lestari.

Mata masyarakat kini tertuju pada pemerintah, menanti langkah nyata untuk menegakkan hukum dan melindungi lingkungan. Akankah mereka bertindak sebelum terlambat? Waktu akan menjawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post