PPN 12 % merusak psikologis masyarakat menengah kebawah dan berpotensi inflasi

Pada 31 Desember 2024 presiden Prabowo subianto kembali menegaskan kepada masyarakat bahwa pemberlakuan PPN 12% hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah, diketahui bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ini merupakan amanah undang-undang yang telah di sahkan pada 2021 yaitu pada Undang-undang No.7 tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan pajak, kenaikan pajak dilakukan secara bertahap dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022, dan dari 11% menjadi 12% diberlakukan pada 1 Januari 2025,


Kenaikan secara bertahap dimaksudkan agar tidak memberi dampak yang signifikan terhadap daya beli masyarakat terhadap inflasi, dan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Adapun yang termasuk dalam klasifikasi barang dan jasa mewah adalah : privat jet, kapal pesiar yacht, serta rumah mewah atau apartemen dengan harga diatas 30 miliar, barang dan jasa diluar dari kategori mewah seperti kebutuhan pokok Masyarakat tidak akan dikenakan pajak 12%,

Kenaikan PPN 12 % akan mempengaruhi segala aspek kehidupan di masyarakat serta berdampak pada kenaikan harga-harga barang dan jasa, tak menutup kemungkinan pada harga-harga sembako dipasaran, obat-obatan dalam dunia medis, serta kenaikan harga pada biaya pendidikan, kekhawatiran tersebut memicu reaksi dimasyarakat,

Apa Saja Barang dan Jasa yang Kena PPN 12%?

Kenaikan tarif PPN 12% berlaku untuk berbagai barang dan jasa, terutama yang dianggap sebagai barang mewah atau memiliki harga tinggi. Beberapa kategori barang dan jasa yang dikenakan PPN 12% antara lain:

Rumah sakit atau pelayanan kesehatan premium, seperti fasilitas VIP

Pendidikan dengan biaya tinggi atau premium, seperti sekolah internasional

Barang-barang premium seperti beras premium, buah-buahan premium, dan daging premium.

Listrik rumah tangga dengan daya 3.600 – 6.600 VA.

Ekonom sekaligus Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar, yang dikutip dari Kontan. co.id membeberkan potensi kenaikan inflasi pada tahun 2025 dapat menambah tekanan ekonomi, khususnya bagi kelompok menengah ke bawah. "Kenaikan PPN menjadi 12% menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp 101.880 per bulan, memperburuk kondisi ekonomi mereka," katanya.

Sementara itu, kelompok kelas menengah ke atas berpotensi mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp 354.293 per bulan

Kebijakan pengecualian PPN 12 % hanya untuk barang dan jasa berspesifikasi mewah sebenarnya sudah ada sejak 2009 namun nyatanya tetap saja menyasar pada semua komoditas yang dikonsumsi masyarakat bawah,

Sehingga dapat disimpulkan akan terjadinya inflasi, dan akan mempengaruhi, naiknya harga barang pokok, lemah nya daya beli masyarakat, penurunan standar hidup, kenaikan angka pengangguran dan lain-lain.

Ditambah lagi kenaikan PPN 12% tidak didukung dengan kenaikan upah minimun propinsi (UMP) hal tersebut justru akan memperburuk psikologis masyarakat,

Belum lagi sistem pengawasan pasar yang masih belum maksimal sehingga akan berpotensi terjadi kenaikan harga bahan-bahan pokok di pasaran yang dilakukan oleh makelar-makelar pasar yang hanya ingin memperoleh keuntungan sepihak dari masyarakat.

Lagi dan lagi masyarakat kecil yang akan dirugikan,

Apa sebenarnya urgensi pemerintah menaikan PPN 12% ?

Jika kemudian hal tersebut mengacu pada amanat Undang-undang No.7 tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan pajak, pemerintah bisa saja menerapkan Pasal 7 Ayat 3 UU No 8/1983 jo UU No 7/2021 memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk menyesuaikan tarif PPN paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.

Artinya pemerintah bisa saja tetap pada angka 11% atau bahkan bisa menurunkan persentase PPN nya, bahkan jika mendesak pemerintah bisa juga dengan mengambil langkah untuk menerapkan PERPPU. Upaya-upaya tersebut dapat dimungkinkan untuk diambil jika memang kesejahteraan masyarakat menjadi prioritas.

Post a Comment

Previous Post Next Post