RMD, Kepemimpinan Indigenos, dan Fenomena Landslide di Pilkada Lampung



Pilkada kali ini menorehkan fenomena baru dalam kontestasi kepemimpinan di Provinsi Lampung. Masyarakat Lampung hampir 'satu suara'.

Hal ini dapat dilihat dari fenomena landslide untuk pasangan Rahmat Mirzani Djausal (RMD) dan Jihan Nurlela. Hasil rapat rekapitulasi suara yang baru saja diumumkan KPU, Sabtu, 7 Desember 2024 mencatat RMD-Jihan memperoleh lebih 3,3 juta suara, sementara pasangan Arinal Djunaidi dan Sutono hanya mampu meraih 691K suara.

Lima belas kabupaten disapu bersih. Meski berhadapan dengan kekuatan besar petahana, RMD berhasil telak meraih suara terbanyak.

Tulisan singkat ini mencoba memahami dan mengurai fenomena hasil pilkada landslide di Provinsi Lampung melalui sisi kepemimpinan indigenos dan pendekatan kultural hegemoni dan kepemimpinan dari filsuf Italia, Antonio Gramsci.


Lampung dan Kepemimpinan Indigenos
PBB, tepatnya the UN Permanent Forum on Indigenous Issues, mendefinisikan indigenos sebagai orang-orang yang memiliki keberlanjutan sejarah dengan wilayahnya sejak sebelum era penjajahan dan kolonisasi berkembang.
Orang-orang indigenos ini adalah pewaris dan pelaku keunikan budaya dan cara hidup dalam hubungan dengan sesama manusia dan alam. Indigenos dalam bahasa Indonesia juga diartikan sebagai pribumi dan bumiputra. Tumbuh dan mengakar dari hubungan kekerabatan antar manusia juga alam, menurut Spiller dan Nicholson dalam The Sage Handbook of Leadership 2023, pemimpin-pemimpin indigenos melihat diri mereka sebagai penjaga komunitas sosial dan ekologi.

Dalam konteks Lampung, orang-orang suku Lampung adalah indigenos yang telah menatap di wilayah Lampung sejak lebih 2500 SM. Suku Lampung adalah Proto-Melayu yang memiliki bahasa, aksara, struktur dan sistem masyarakat yang jelas.

Lampung memiliki buku rujukan untuk aturan adat yang disebut Kitab Kuntara Raja Niti. Namun, kekhasan budaya Lampung ini tergeser sejak masuknya penjajah Eropa di abad ke-16, dan kemudian ditambah dengan kolonisasi Jawa yang diinisiasi oleh Belanda pada Desember 1905.

Kolonisasi ini terus dilanjutkan pada masa kemerdekaan dan beralih nama menjadi transmigrasi. Kini, suku Lampung menjadi minoritas di tanahnya sendiri.

Sejarah Orde Baru juga meminggirkan kepemimpinan indigenos di Provinsi Lampung: sejarah tentang dominasi pusat yang menghapus budaya dan meredam kepemimpinan bumiputra di daerah.

Selama Orde Baru, gubernur Lampung berasal dari Jawa yang di-drop oleh pemerintah pusat. Seperti juga dominasi barat pada dunia, Jawanisasi di Indonesia ini secara sistematis meminggirkan kebudayaan daerah-daerah di luar Jawa.

Menurut Jeffrey Hadler, akademisi dari University of California, Berkeley, dalam bukunya Muslims and Matriarchs, saat itu Jawa kerap digambarkan hanya sebagai pengganti penjajah barat yang represif dan eksploitatif.

Ketika Reformasi terjadi dan isu desentralisasi dan otonomi daerah bergulir, akhirnya Lampung mampu keluar dari cengkeraman pusat ini. Bumiputra Lampung, Komjen (P) Sjachroedin ZP, terpilih menjadi Gubernur Lampung periode 2004-2014. Sjachroedin adalah Gubernur Lampung yang bersuku Lampung kedua setelah ayahnya, Zainal Abidin Pagaralam, yang merupakan Residen Lampung terakhir, Gubernur Lampung 1966-1972, dan salah satu pendiri dan peletak dasar-dasar pembangunan Provinsi Lampung.

Lepas dari dominasi pemerintah pusat, kepemimpinan bumiputra di Lampung bukan berarti bebas tanpa hambatan yang lain. Paska Sjachroedin ZP, kepemimpinan Lampung nyatanya mesti berhadapan dengan campur tangan korporasi besar.

Sekali lagi, kepentingan masyarakat Lampung terpinggirkan demi keuntungan korporasi dan kapitalis. Kegelisahan akan kenyataan ini yang mungkin membuat Sjachroedin ZP berpesan dengan tegas dan tanpa tedeng aling-aling dalam satu acara menjelang pilkada kemarin: 'Kalau jadi pejabat perlu memiliki mental yang baik, jangan cuma jadi kacungnya pengusaha'. Dan dalam persiapan pilkada kemarin, masyarakat Lampung mampu melihat dengan jelas ke mana arah dukungan mantan ketua partai banteng ini.

Ciri khas kepemimpinan indigenos di Lampung adalah sistem federasi berdasarkan klan dan kekerabatan. Peran dan pengaruh keluarga besar dan komunitas budaya menjadi sangat penting untuk menciptakan kepemimpinan yang baik. Profesor dari Swedia, Mats Alvesson, dalam The Sage Handbook of Leadership 2011, mengungkapkan kalau 'kebudayaan mempengaruhi kepemimpinan, dan kepemimpinan mempengaruhi kebudayaan’.

Ia mendefinisikan kepemimpinan sebagai upaya mempengaruhi konstruksi realitas –gagasan, kepercayaan, dan penafsiran mengenai apa dan bagaimana sesuatu dapat dan harus dilakukan, dengan mempertimbangkan fakta dunia dan alam sekitar.

Pakar kepemimpinan di Inggris, Allen dan O'Reilly, menegaskan kalau pemimpin bertindak berdasar pada nilai-nilai dan kepercayaan sesuai konteks yang ada di sekitarnya. Berdasar uraian ini, lahir dan tumbuh dalam budaya Lampung menjadi modal yang sangat penting untuk menjadi pemimpin di Lampung.

RMD adalah seorang pemimpin indigenos. Ia lahir dalam keluarga Lampung beradat pepadun asal Sungkai Bunga Mayang. Ia mengenyam pendidikan dasar dan menengah di Kota Bumi, Lampung Utara, sebelum kemudian melanjutkan pendidikan atas di Bandar Lampung.

Sebagai anak lelaki tertua di keluarga, sejak kecil ia dididik untuk menjadi penyimbang di keluarga besar Djausal. Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko, dalam buku Hukum Adat Indonesia, menjelaskan bahwa kepenyimbangan seseorang diwariskan, putra sulung keluargalah yang mempunyai hak tunggal untuk menjadi penyimbang, sebagai pengganti ayahnya (kecuali apabila terjadi hal-hal yang tidak memungkinkan yang bersangkutan menjadi penyimbang, misalnya sakit, perilaku yang buruk, dan seterusnya).

Penyimbang yang tidak bisa menjalankan fungsinya dan atau dianggap melanggar adat, dapat diberhentikan dan digantikan sesuai kesepakatan dalam musyawarah forum adat yang disebut Proatin atau Para Batin.

Sistem kontrol kepenyimbangan yang kuat mampu menciptakan pemimpin yang egaliter. Penyimbang di adat Lampung bukanlah raja. Kepenyimbangan adalah kepemimpinan kolektif. Penyimbang utama duduk bersama tiga wakil yang lain dengan formasi diapit dua orang di kiri dan kanan dan satu di belakang, dan formasi empat ini disebut Paksi Pak.

Kepemimpinan kolektif serupa ini yang kini kerap dikaji oleh para ahli kepemimpinan dan disebut dengan shared leadership. Konsep shared leadership yang egaliter dianggap baru di kajian kepemimpinan Barat yang selama ini lebih terfokus pada heroic leadership yang berciri individualis dan sangat hierarkis.

Tema kepemimpinan kolektif, kolaborasi dan kebersamaan menjadi salah satu tema kampanye yang diusung oleh pasangan Mirza dan Jihan. Ada atau tidaknya hubungannya tema kampanye ini, dan corak kepemimpinan RMD nantinya, dengan akar RMD dalam kepemimpinan adat Lampung akan menarik untuk dikaji lebih jauh.

Dalam adat Lampung, idealnya, penyimbang adalah pemimpin klan yang berfungsi sebagai konektor, fasilitator, mediator dan protektor. Mereka adalah pewaris dan penjaga budaya dan tanah pusaka yang terus diturunkan dari generasi ke generasi. Mereka menjadi jembatan bagi masa kini dan masa lalu, pada sejarah tanah dan leluhur Lampung. Tentu saja ini bukan tugas dan tanggung jawab yang mudah.

Bagi RMD sendiri, ia memiliki sosok-sosok kuat yang selalu ada untuk membimbingnya sejak kecil: seorang ayah, Faisol Djausal, yang pengusaha sukses, dan paman, Anshori Djausal, yang budayawan-intelektual.

Keluarga besar Djausal, sejalan dengan konsep kepemimpinan indigenos, terkenal dengan dedikasi dan kepekaan pada masalah budaya dan lingkungan hidup di Lampung. Satu hal lagi yang terpenting: keluarga besar ini sangat cinta pada tanah sai bumi ruwa jurai.

RMD dalam Dinamika (Konter) Hegemoni
Seperti diuraikan sebelumnya, kepemimpinan indigenos di Lampung berhadapan dengan dominasi Barat pada masa penjajahan, dominasi pemerintah pusat pada masa Orde Baru, dan dominasi korporasi besar di masa Reformasi. Fenomena landslide untuk RMD menjadi menarik untuk dianalisis dari kacamata kultural hegemoni dan kepemimpinan oleh Gramsci.


Apa yang menyebabkan RMD mampu melawan hegemoni kapitalisme dan muncul sebagai hegemoni baru untuk kepemimpinan indigenos? Tulisan ini mencoba mengurai jawaban untuk pertanyaan tersebut.

Dalam buku Selections of Prison Notebooks, Antonio Gramsci menegaskan bahwa sebuah kelompok harus memiliki kepemimpinan untuk memenangkan kekuasaan pemerintahan. Gramsci membagi kepemimpinan ini menjadi tiga: kepemimpinan politik, kepemimpinan intelektual (tradisional dan organik), dan kepemimpinan moral.
Ketiga hal ini yang akan kita coba cermati dalam sosok RMD. Pertama, kepemimpinan politik. RMD adalah Ketua Partai Gerindra Lampung. RMD menahkodai partai ini melalui banyak lika-liku politik. RMD juga duduk di legislatif. Menjadi ketua partai politik pemenang pemilu meletakkan RMD dalam lingkar sumber kekuasaan baru. Mudah dikatakan kalau RMD memiliki modal kuat dan kemampuan dalam kepemimpinan politik.

Kedua, kepemimpinan intelektual. RMD kuliah S1 di Universitas Trisakti jurusan Teknik Mesin pada saat Reformasi terjadi. Trisakti menjadi salah satu kampus pendobrak dominasi Orde baru kala itu. Mungkin sedikit-banyaknya pengalaman masa Reformasi ini membekas pada diri RMD.
RMD juga aktif berorganisasi, ia adalah Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Lampung dan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Lampung. Di bidang olahraga yang ia geluti sejak SMA, ia adalah Ketua Pengprov Persatuan Baseball dan Softball Indonesia (Perbasasi) Lampung dan Ketua Umum Persatuan Golf Indonesia (PGI) Lampung.

Selain itu, RMD juga berasal dari keluarga budayawan dan intelektual. Sebut saja beberapa nama. Anshori Djausal yang Ketua Akademi Lampung dan budayawan. Anshori Djausal dan Sjachroedin ZP adalah penggagas pendirian ikon Lampung yang terkenal: Menara Siger. Herawati Djausal yang konsen pada konservasi lingkungan, peraih Penghargaan Kalpataru, dan pendiri Taman Kupu-kupu Gita Persada.

Sepupu-sepupu RMD juga banyak mendedikasikan diri untuk seni, budaya dan lingkungan, misalnya saja Maizano Djausal yang menciptakan kamus Bahasa Lampung daring, Alia Djausal yang seorang pelukis, dan Martinus yang memproduksi peralatan makan ramah lingkungan. Kebanyakan keluarga RMD adalah akademisi di Universitas Lampung. Singkatnya, RMD sebagai pribadi dan latar keluarga telah memenuhi syarat yang Gramsci sebut dengan kepemimpinan intelektual ini.

Ketiga, kepemimpinan moral. RMD yang lahir di Kota Bumi, 18 Maret 1980, merupakan bagian dari Angkatan 1998. Angkatan ini bisa dibilang unik karena beberapa hal: satu, lahir dan besar pada masa Orde Baru; dua, melalui masa remaja yang rentan dan marak dengan westernisasi dan obat-obatan, dan ketiga, memulai dan menjalani kuliah pada masa Reformasi – memberi peluang besar untuk aktif dalam organisasi, forum-forum diskusi dan demonstrasi.

RMD, seperti juga kebanyakan remaja angkatan 1998 yang lain, merasakan dominasi politik Orde Baru yang membungkam suara-suara yang berbeda, merasakan kehilangan teman-teman sepermainan karena obat-obatan, dan merasakan perubahan bahkan menjadi bagian aktif dari perlawanan untuk Reformasi. Yang penting digarisbawahi di sini adalah, alih-alih kehilangan jati diri dan hilang di dunia yang penuh hura-hura dan huru-hara ini, RMD terus aktif berkegiatan positif dan telah memilih jalan sunyi.

RMD memilih bergabung dengan jamaah tablig atau yang kerap disebut jaulah, seorang pejalan dalam pencarian yang lebih tinggi dari materi keduniawian. Dengan bekal pengalaman beragama ini, RMD lalu kembali ke massa rakyat dan memimpin sebuah partai politik besar. Kedekatan RMD pada organisasi keagamaan ini memberikan landasan untuk kepemimpinan moral.

Kesimpulan dan penutup

Terpilihnya RMD secara landslide adalah keberhasilan kepemimpinan bumiputra melawan dominasi dan hegemoni korporasi dan kapitalisme di Lampung. RMD menciptakan (konter)hegemoni budaya karena memiliki tiga landasan, yaitu kepemimpinan politik, kepemimpinan intelektual, dan kepemimpinan moral.

Harapan kita semua untuk RMD bekerja sebaik-baiknya menjalankan fungsi sebagai pemimpin indigenos demi Lampung tercinta. Doa kami untuk perjalanan panjang di tahun yang baru nanti. Tabik pun.

Lancaster, 8 Desember 2024

---

Rilda A. Oelangan Taneko kelahiran Bandar Lampung dan sejak 2005 menetap di Eropa. Lulusan terbaik S1 Sosiologi Universitas Lampung dan S2 Women, Gender, and Development Studies ISS-Erasmus Universiteit, Belanda, ini diundang oleh Ford Foundation untuk mengikuti Leadership for Social Justice Institute di Washington DC. Ia meraih Krakatau Award, nominasi Khatulistiwa Literary Award dan Penghargaan Sastra Badan Bahasa RI. Buku-bukunya: Kereta Pagi Menuju Den Haag (2010), Anomie (2017), Seekor Capung Merah (2019) dan Selama Air Hilir (2023). Rilda adalah pendiri Kelas Bahasa Lampung Doeloe Boemi.

Post a Comment

Previous Post Next Post