.
.
Bandar Lampung - Seperti yang telah diperkirakan sebelumnya, pasangan Eva Dwiana – Dedy Amarullah akhirnya memenangi kontestasi pilkada Kota Bandar Lampung, dan telah dinyatakan sebagai Walikota – Wakil Walikota Terpilih periode 2025-2029 oleh KPU, pekan lalu.
Lalu apa yang menjadi tugas berat Eva Dwiana – Dedy Amarullah pada periode kedua kepemimpinannya di Ibukota Provinsi Lampung ini? Jika merunut pada evaluasi atas tata kelola keuangan Pemkot Bandar Lampung selama ini, tak lain adalah mengendalikan hasrat nan menggebu-gebu. Sehingga acapkali apa yang dicatatkan dalam APBD, jauh dari harapan dalam hal perolehannya.
Misalnya, pada tahun 2023 lalu Pemkot Bandar Lampung menganggarkan pendapatan daerah sebesar Rp 2.930.424.128.001,10, yang terealisasi Rp 2.299.794.223.208,49 atau 78,48% saja. Perolehan PAD hanya mencapai 52,76% dari yang dianggarkan Rp 1.316.723.312.406,10, terealisasi Rp 694.676.220.527,49.
Angka tersebut gabungan dari pendapatan pajak daerah sebesar Rp 546.953.963.871,38, retribusi daerah Rp 32.809.743.878,00, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Rp 11.026.667.082,08, dan Lain-Lain PAD yang sah senilai Rp 103.885.845.696,03.
Data ini tentu saja valid. Karena terungkap dalam surat Walikota Bandar Lampung, Eva Dwiana, ditujukan kepada Kepala BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung dengan Nomor: B/684/200.1.15/IV.02/2024 perihal: Surat Representasi Manajemen, tertanggal 2 Mei 2024.
Mengapa PAD demikian rendah? Menurut BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung dalam LHP Atas Sistem Pengendalian Intern dan Kepatuhan Terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Pemkot Bandar Lampung Tahun 2023, Nomor: 29B/LHP/XVIII.BLP/05/2024, tanggal 2 Mei 2024, tidak lain karena pemkot terjebak dalam masalah yang sama. Apa itu? Yakni penganggaran PAD tidak mempertimbangkan perhitungan yang rasional berdasarkan potensi dan realisasi tahun sebelumnya. Alias terlalu banyak menerawang.
Apa buktinya? Misalnya: dalam hal penganggaran retribusi pelayanan persampahan/kebersihan. Pada tahun 2023 ditargetkan perolehan sebesar Rp 33.519.333.000,00. Namun, yang terealisasi hanya Rp 13.537.550.300,00 atau 40,39% saja dari anggaran. Dan memang faktanya, retribusi pelayanan persampahan/kebersihan ini sejak tahun 2019 silam, tidak pernah mencapai target. Benarkah demikian? Ini datanya:
1. Tahun 2019. Dianggarkan retribusi pelayanan persampahan/kebersihan sebesar Rp 15.800.000.000,00. Terealisasi Rp 7.085.769.400,00 atau 44,85% saja.
2. Tahun 2020. Kembali dianggarkan sebesar Rp 15.800.000.000,00, realisasi hanya Rp 7.519.333.000,00 atau 47,59%.
3. Tahun 2021. Target perolehan dinaikkan dua kali lipat, menjadi Rp 30.000.000.000,00. Yang terealisasi hanya Rp 8.202.983.200,00 atau 27,34% saja.
4. Tahun 2022. Target pendapatan diturunkan lagi, diangka Rp 13.519.333.000,00. Pun yang terealisasi hanya Rp 10.760.342.500,00 atau 79,59%.
5. Tahun 2023. Target dinaikkan kembali sampai pada angka Rp 33.519.333.000,00. Yang terealisasi hanya Rp 13.537.550.300,00 atau 40,39% saja.
Bagaimana bisa menganggarkan PAD dari pelayanan persampahan/kebersihan begitu tingginya? Ya karena penyusunan target anggaran tidak berdasar data valid dan juga tidak melibatkan OPD terkait. Padahal, berdasarkan data DLH, potensi pendapatan dari retribusi pelayanan persampahan/kebersihan hanya senilai Rp 10.787.100.000,00 per-tahun.
Bukan hanya pada pencanangan target pendapatan dari retribusi pelayanan persampahan/kebersihan saja yang tidak rasional. Penganggaran retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum pun tidak mempertimbangkan perhitungan yang masuk akal sehat, berdasarkan potensi dan realisasi tahun sebelumnya.
Untuk diketahui, pada tahun 2023 lalu Pemkot Bandar Lampung mencanangkan pendapatan dari retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum sebesar Rp 7.150.178.067,48. Berapa realisasinya? Hanya Rp 591.525.000,00 atau 8,27% saja. Padahal, berdasarkan data yang ada, sejak tahun 2019 lalu, retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum memang sangat jauh dari target anggaran yang ditetapkan.
Mau tahu berapa rincian perolehan retribusi dari pelayanan parkir di tepi jalan umum Kota Bandar Lampung? Ini uraiannya:
1. Tahun 2019. Dengan target anggaran Rp 15.600.000.000,00, terealisasi Rp 4.903.658.000,00 atau 31,43% saja.
2. Tahun 2020. Tetap dengan anggaran Rp 15.600.000.000,00, realisasinya Rp 1.996.299.000,00 atau justru mengalami penurunan dengan prosentase 12,80%.
3. Tahun 2021. Target anggaran dinaikkan menjadi Rp 20.000.000.000,00. Yang tercapai hanya Rp 603.160.000,00 atau 3,02% saja.
4. Tahun 2022. Target anggaran pada posisi Rp 2.150.178.067,48. Yang terealisasi Rp 558.807.000,00 atau 25,99%.
5. Tahun 2023. Anggaran dicanangkan Rp 7.150.178.067,48. Yang terealisasi hanya Rp 591.525.000,00 atau 8,27%.
Kelewat tingginya target anggaran yang dipasang Pemkot Bandar Lampung dalam hal retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum ini tidak dibantah oleh Kabid Perparkiran Dinas Perhubungan. Realistis ia menyatakan bahwa potensi pendapatan retribusi ini senilai Rp 685.835.000,00 per-tahun.
Menyangkut retribusi pasar grosir dan/atau pertokoan, pun sama saja. Pemkot Bandar Lampung tidak mempertimbangkan perhitungannya secara rasional berdasarkan potensi dan realisasi tahun sebelumnya. Sehingga sangat wajar bila sejak tahun 2019 hingga 2023 masih jauh pendapatannya dari anggaran yang ditargetkan.
Berikut data anggaran dan realisasi retribusi pasar grosir dan/atau pertokoan di Bandar Lampung:
1. Tahun 2019. Dianggarkan Rp 4.500.000.000,00, realisasinya Rp 1.514.692.000,00 atau 33,66%.
2. Tahun 2020. Dianggarkan Rp 4.500.000.000,00 juga, realisasinya justru turun, yaitu Rp 1.248.639.000,00.
3. Tahun 2021. Target dinaikkan lebih dari tiga kali lipat, yaitu Rp 15.000.000.000,00. Faktanya, realisasi justru kembali turun dibanding tahun sebelumnya, berhenti di posisi Rp 1.114.261.000,00 atau 7,43% saja.
4. Tahun 2022. Target diturunkan dengan sistem “terjun bebas”, pada angka Rp 1.254.346.650,00. Itu pun realisasinya hanya Rp 1.124.484.000,00 atau 89,65%.
5. Tahun 2023. Dianggarkan Rp 2.254.346.650,00, yang terealisasi Rp 1.225.038.000,00 atau 54,34%.
Begitu juga dengan retribusi terminal, tidak mempertimbangkan perhitungan yang rasional berdasarkan potensi dan realisasi tahun sebelumnya. Pada tahun 2023 dianggarkan perolehan sebesar Rp 1.800.000.000,00, faktanya hanya terealisasi Rp 523.264.000,00 atau 29,07% saja.
Sebagai catatan, sejak lima tahun terakhir, perolehan retribusi terminal tidak pernah mencapai target. Pada tahun 2019, dianggarkan Rp 1.529.968.000,00, terealisasi Rp 935.598.000,00 atau 61,15%. Tahun 2020 dianggarkan dengan nominal yang sama yaitu Rp 1.529.968.000,00, justru realisasinya turun. Hanya Rp 755.483.000,00 atau 49,38%.
Lalu pada tahun 2021 dianggarkan Rp 1.650.000.000,00, realisasinya semakin turun, di posisi Rp 613.244.000,00 atau 37,17%. Pada tahun 2022 dianggarkan Rp 1.800.000.000,00, realisasinya Rp 538.236.000.000,00 atau 29,90%, dan di tahun 2023 dipasang target anggaran sama persis dengan tahun sebelumnya, yaitu Rp 1.800.000.000,00, realisasinya semakin menurun, hanya di angka Rp 523.264.000,00 atau 29,07% saja.
Bagaimana dengan defisit? Menurut catatan BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung, tiga tahun terakhir deifisit keuangan riil Pemkot Bandar Lampun terus mengalami penurunan. Pada tahun 2021 nilainya sebesar Rp 637.714.972.189,72, di 2022 mengalami penurunan, dengan angka Rp 342.089.872.154,68, dan di tahun 2023 lalu jumlah defisit keuangan riil Pemkot Bandar Lampung berada pada posisi Rp 267.426.698.983,08.
Atas masih signifikannya defisit keuangan riil ini, BPK menilai: karena Pemkot Bandar Lampung menganggarkan serta merealisasikan belanja-belanja yang tidak bersifat prioritas tanpa mempertimbangkan kemampuan daerah.
Dan yang layak menjadi catatan, pada tahun 2023 kemarin Pemkot Bandar Lampung lebih memprioritaskan anggaran dan realisasi belanja terkait hibah uang dan barang/jasa dibandingkan belanja urusan wajib (tidak berkaitan dengan pelayanan dasar) dan urusan pemerintahan wajib. Benarkah demikian? Ini datanya:
1. Belanja urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Anggaran Rp 1.842.475.411.324,00, realisasi belanja Rp 1.346.861.690.574,00.
2. Belanja urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Anggaran Rp 214.088.830.310,00, realisasi belanja Rp 159.465.723.820,00.
3. Belanja urusan pemerintahan pilihan. Anggaran Rp 48.885.270.958,11, realisasi belanja Rp 35.610.365.619,00.
4. Hibah yang dianggarkan pada belanja hibah. Anggaran Rp 119.391.939.549,00. Realisasi belanja Rp 104.622.124.811,00.
5. Hibah yang dianggarkan pada belanja barang dan jasa. Anggaran Rp 292.743.186.562,00, realisasi belanja Rp 171.667.872.245,00.
Sementara, terkait dengan tata kelola keuangan, sepanjang tahun 2023 lalu dapat dibilang Pemkot Bandar Lampung amat sangat tidak disiplin. Dimana penerbitan SPD tidak sepenuhnya mempertimbangkan anggaran kas dan ketersediaan dana di kas daerah.
Misalnya saja pada triwulan I tahun 2023. Anggaran kas perubahan sesuai SK BUD sebesar Rp 572.673.503.825,85. Nilai SPD yang terbit Rp 615.665.996.594,76. Selisih anggaran kas dengan SPD sebanyak Rp 42.992.492.768,91.
Secara keseluruhan, ketersediaan kas pada tahun 2023 sebesar Rp 2.057.462.334.135,00, sedangkan SPD yang diterbitkan senilai Rp 2.652.960.126.929,02. Dengan demikian penerbitan SPD lebih besar dari ketersediaan kas sebanyak Rp 595.497.792.794,02.
Akibat tata kelola penggunaan anggaran yang penuh akal-akalan –karena tidak terkendalinya hasrat-, maka ada beberapa kewajiban pemkot yang tidak tertangani pada tahun 2023 lalu. Apa saja itu? Yakni terdapat gagal bayar utang belanja sebesar Rp 21.298.300.101,00, kurang saji utang belanja sebanyak Rp 7.238.355.409,00, serta belum dibayarkannya iuran dan klaim program kesehatan sebesar Rp 57.972.704.285,00.
Sebagai bahan evaluasi bagi Eva – Dedy untuk menguatkan kinerja pada periode kedua kepemimpinannya, layak disampaikan pokok-pokok temuan BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung atas LKPD Pemkot Bandar Lampung Tahun 2023, ini diantaranya:
1. Penganggaran pendapatan dan realisasi belanja belum memperhatikan perhitungan rasional dan kecukupan kas di kas daerah serta terjadi penggunaan dana yang dibatasi sebesar Rp 80.015.886.122,48, dan defisit keuangan riil sebesar Rp 267.426.698.983,08. Hal ini mengakibatkan timbulnya utang belanja yang berisiko gagal bayar pada tahun anggaran berikutnya karena pelaksanaan belanja daerah yang tidak didukung dengan ketersediaan dana.
2. Pertanggungjawaban belanja tidak terduga untuk pelaksanaan MTQ Tahun 2023 tidak sesuai kondisi senyatanya, sehingga mengakibatkan terdapat pertanggungjawaban belanja tidak terduga pada Bagian Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tidak akuntabel.
3. Penatausahaan kas di bendahara pengeluaran dan rekening milik Pemkot Bandar Lampung kurang tertib, serta pertanggungjawaban bendahara pengeluaran ata sisa UP pada Badan Kesbangpol tidak sesuai ketentuan. Hal ini mengakibatkan nilai saldo kas di bendahara pengeluaran pada Badan Kesbangpol belum mencerminkan kondisi yang sebenarnya.
4. Terdapat gagal bayar utang belanja sebesar Rp 21.298.300.101,00, kurang saji utang belanja sebesar Rp 7.238.355.409,00, serta belum dibayarkannya iuran dan klaim program kesehatan sebesar Rp 57.972.704.285,00. Hal ini mengakibatkan akun utang belanja tidak memenuhi klasifikasi utang jangka pendek sebesar Rp 21.298.300.101,00 dan kekurangan penyajian pada akun utang belanja sebesar Rp 7.238.355.409,00.
Selain pokok-pokok temuan tersebut, BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung juga menguraikan adanya beberapa persoalan lain. Diantaranya adalah;
1. Pembayaran belanja pegawai tidak sesuai ketentuan, belanja THR dan gaji ke-13 guru daerah kurang dianggarkan, serta kekurangan pembayaran tunjangan profesi guru sebesar Rp 302.831.900,00.
2. Belanja pengadaan material aspal HRS pada Dinas PU tidak sesuai ketentuan sebesar Rp 776.987.550,00.
3. Pembayaran belanja jasa kantor atas pegawai tenaga kontrak pada Dinas Perhubungan tidak sesuai ketentuan sebesar Rp 24.000.000,00.
4. Belanja uang dan barang untuk diserahkan kepada masyarakat tidak tepat sasaran sebesar Rp 13.563.000,00, dan tidak sesuai ketentuan sebanyak Rp 30.685.000,00.
Dalam kondisi defisit anggaran yang masih demikian besar, ditambah utang yang menumpuk, hendaknya Eva Dwiana dan Dedy Amarullah sebagai Walikota – Wakil Walikota Bandar Lampung lima tahun kedepan benar-benar bisa realistis dalam menyusun dan memakai anggaran. Sudahilah memprioritaskan “berbalas budi” pada pendukung dan menebar pencitraan dengan menggunakan uang rakyat.
Masyarakat di Ibukota Provinsi Lampung ini menginginkan pemerintahan yang stabil dalam kondisi keuangannya sehingga benar-benar terwujud pelayanan secara maksimal. Karenanya, mengendalikan hasrat personal, amatlah diperlukan. Selamat berjuang. (sugi)
Post a Comment