Lonceng pilkada telah dibunyikan pihak penyelenggara, pertanda pertarungan kepala daerah telah dimulai.
Adu gagasan menjadi kebiasan yang tak terelakkan disetiap kontestasi demokrasi, baik iming-iming di sektor pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur hingga kesejahteraan masyarakat.
Tentunya hal tersebut perlu adanya dalam setiap kandidat yang akan bertarung, namun implementasi program yang ingin dijalankan ketika terpilih kadang-kadang tidak sesuai antara janji dan realisasinya.
Aristoteles mengingatkan kita bahwa di dalam demokrasi itu banyak demagog, yaitu agitator yang pandai menipu rakyat dengan pidato-pidato dan janji-janji bohong.
Para demagog ini biasanya menebar janji membangun kemakmuran rakyat, menggratiskan pendidikan, menjamin pengobatan dan segala hal yang dibutuhkan rakyat asal dipilih dalam pemilihan.
Namun setelah terpilih nanti, mereka tak berbuat apa-apa bahkan hanya menghianati rakyat.
Hari-hari ini masyarakat Lampung sedang hangat-hangatnya membahas beberapa figur untuk mengisi kontestasi politik pilkada, baik Cagub, Cabup maupun Cawakot. nama-nama tersebut dapat dilihat dari berbagai dunia maya hingga meja perkopian, mulai dari politikus, pengusaha, hingga Pengacara yang mempunyai peluang serta popularitas di mata masyarakat.
Politik Indonesia pasca orde baru memang sudah berubah, tetapi konfigurasi kekuasaanya masih sama saja.
Partai politik yang berkembang hingga hari ini hanyalah hasil aliansi bisnis dan politik, yang tak pelak menjadi bagian dari proses akumulasi kekuasaan-kapital.
Kenyataan itu terlihat dari relasi-relasi di dalam tubuh partai politik dengan kaum borjuasi, aliansi bisnis dan politik di tubuh parpol semakin kuat serta mendominasi perpolitikan hari ini.
Politik elektoral digunakan untuk mempertahankan kekayaan, baik mendukung kandidat maupun terlibat langsung dalam bursa kandidat.
Beberapa tokoh yang disinyalir akan maju sebagai Cagub, Cabup maupun Cawakot di Provinsi Lampung tidak bisa melepaskan diri dari relasi kuasa-kapital borjuasi.
Walaupun mungkin hanya temporer, sangat jelas partai politik bermain bukan lagi pada tataran ideologi dan kekuatan arus bawah kepartaian, alih-alih di dasarkan pada kepentingan ekonomi politik elit saja.
Sejalan dengan hal itu, masyarakat kita hari ini yang tergiur money politic, yang pada akhirnya setiap kandidat akan membutuhkan biaya politik yang besar.
Budaya money politik itu bukan hanya karena didasarkan pada pola pikir masyarakat yang pragmatis, tetapi juga karena ketidakpercayaan masyarakat pada janji politik yang dibawa para kandidat, yang seringkali hanya dongeng-dongeng berkeliaran saat momentum pemilihan, maka pemikiran sebagian masyarakat lebih baik mengambil uang yang diberikan.
Sang Bumi Ruwa Jurai (Julukan Provinsi Lampung) pada gelaran pilkada di 2024 ini menarik perhatian para oligarki, mengingat sumberdaya alamnya yang sangat kaya dan menjanjikan dapat digunakan sebagai profit kelompok pemodal (kapitalis) yang pada akhirnya pertarungan yang terjadi bukan pertarungan gagasan, tetapi pertarungan kelompok elit yang berbalut demokrasi dan mengatasnamakan rakyat demi kepentingan pribadi dan kelompok.
Walaupun perebutan kekuasaan yang akan terjadi itu rentan dicaplok kelompok elit, tentunya kita menginginkan figur-figur yang ideal bahkan tidak bermain pada wilayah money politic, meskipun itu mustahil.
Namun, apakah beberapa tokoh yang disinyalir akan maju sebagai Cagub,Cabup maupun Cawakot tidak bermain dengan kelompok elit (oligarki)?
Mari kita mengintip secara saksama dengan melihat pertarungan strategi dan taktik yang terjadi.
Oleh: Pinnur Selalau (Pimred RadarCyberNusantara.com)
Post a Comment