BUKU "Prabowo Culik Kami Dong!" baru terbaca ketika telepon genggam harus dimatikan pada penerbangan Jakarta-Lampung, Rabu (29/11/2023). Di langit Selat Sunda, buku yang diantarkan tim penyusunnya kepada saya sepekan sebelumnya jadi teman mengalihkan acrophobia, phobia ketinggian.
Walau judul bukunya seolah hendak menguliti kembali luka lama "Si Gemoy", julukan nitizen kepada Prabowo Subianto belakangan ini, ternyata isinya justru sebaliknya. Penulisnya ingin mematahkan suara sumbang tentang sang capres Koalisi KIM itu yang selalu muncul setiap dirinya maju kontestasi pilpres.
Lema gemoy bukan lahir dari rahim Bahasa Indonesia karena tidak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata itu lahir dari rahim bahasa gaul yang kemudian pada musim pilpres kali ini dilekatkan kepada Prabowo.
Si Gemoy sendiri tak baperan, tak pernah membela diri atas penilaian maupun julukan yang memang sudah biasa disematkan nitizen seenak jidatnya kepada para elite politik seringan menekan kedua jempol di layar handphonennya.
Wowo, julukan nitizen sebelumnya, tak peduli, terus melaju dengan "kegemoyannya". Terungkap setelah ditanya Najwa Shibah alias Nana, Prabowo Subianto mengatakan selalu joget yang akhirnya dijuluki "Si Gemoy" itu sudah biasa dilakukannya sejak kecil.
Setiap bahagia, gembira, dia mengaku spontan joget, seperti selebrasi pemain bola berhasil merobek gawang lawan. Selebrasi yang gemoy itu ketika mendapatkan nomor 2 bersama anaknya Jokowi sebagai pasangan Pilpres 2024 pas di depan Megawati Soekarno Putri.
Setiap kesempatan, Prabowo selalu tampak sumringah. Dia seolah optimistis pilpres yang diikutinya ketiga kali ini bakal dimenangkannya. Jokowi yang sebelumnya kuat bersama PDIP kini bersamanya, Luhut yang banyak hopeng oligarki sudah satu perahu.
Belum lagi, partai koalisinya, Koalisi Indonesia Maju (KIM) menguasai 59.762.053 suara atau setara dengan 42,67 persen suara Pemilu 2019, yakni Gerindra, Golkar, Demokrat, Amanat Nasional (PAN), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Garuda.
Kesannya, Sang Jenderal terlihat selalu riang gembira menyambut kemenangannya yang seolah sudah di depan mata. Jadi, seakan, black campaign dirinya penculik, bapaknya buron, dan lain-lainnya tenggelam bersama kekuasaan dan finansial yang berpihak kepadanya.
Bahkan, julukan barunya jadi inspirasi munculnya banyak billboard bergambar Prabowo-Gibran dengan kemeja biru yang bertuliskan "Gaspoll Bro", singkatan dari "Gemoy Asoy Santuy Poll Bersama Prabowo" di titik-titik strategis Kota Depok, Jawa Barat, 30 November 2023.
Prifko Yuhady malah yang sepertinya gatel membela Si Gemoy lewat bukunya, "Prabowo Culik Kami Dong". Wajar, aktivis 98 ini masuk Barusan Relawan Indonesia Maju-08. Lumayan juga melihat Prabowo lewat buku yang tak tebal-tebal, bahasnya ringan, gaul, pas sasarannya kaum milenial.
Dari langit Jakarta-Selat Sunda, Prifko mematahkan stigma negatif yang disematkan kepada Prabowo selama ini, saya memilih 4 dari 9 tema tulisan saja, yakni soal keterlibatan orangtua Prabowo dengan PRRI, Prabowo pemarah, penculikan aktivis '98, hingga kisah cintanya dengan Titiek Soeharto.
1. SOEMITRO DAN PRRI
Prifko menulis tema ini pada tulisan pertamanya yang lumayan panjang. Agaknya, dia punya keterlibatan emosi sebagai cucu tokoh Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) Sumatera Selatan.
Dia bangga sebagai cucu petinggi PRRI Sumsel sama halnya Ribka Tjiptaning bangga sebagai anak PKI. Tapi, kata dia, cacat berpikir menyamakan PRRI dengan PKI. PRRI kumpulan prajurit tempur sejak Zaman Belanda yang berpihak ke Republik Indonesia.
PRRI juga tak bisa disamakan dengan DI/TII atau RMS. PRRI tak pernah berniat mendirikan negara di dalam negara. PRRI adalah para pejuang yang merasa dizolimi kebijakan Bung Karno sama seperti pemberontakan Daud Beureuh.
Soemitro buronan negara itu logika semberono dari orang yang kurang baca. Alasan Prifko, saat Soemitro keluar negeri, pasukan PRRI sudah mendapatkan grasi Bung Karno. Soal Soemitro tak mau kerja sama dengan Bung Karno, itu hal lain.
2. PRABOWO PEMARAH
Prifko sempat keder juga Prabowo dicitrakan sosok yang pemarah. Dia teringat orangtuanya yang jika marah setan aja kalah seram. Tapi, saat ini, sang aktivis merindukannya. Jika tak ditempa seperti itu, dirinya mungkin jadi cengeng bahkan sudah bunuh diri gara-gara diputusin pacar.
Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dan Ahok juga dikenal pemarah. Tapi, rakyat tak mengolok-olok mereka karena kinerjanya mensejahterkan rakyat dengan membangun banyak rusunawa dan Jakarta.
Presiden Soeharto malah tak pernah terlihat marah selama 32 tahun jadi presiden. Dia selalu tersenyum tapi tak bisa dihapuskan dari sejarah pembantaian Tanjungpriok (Jakarta), Talangsari (Lampung), Haur Koneng (Majalengka), dan lainnya. Bayangkan bakal seperti apa jika "The Smiling General" marah?
SBY pemimpin yang pandai menyimpan amarah, Gus Dur yang suka membuat lawatan jumpalitan marah-marah malah hobinya tertawa dengan joke-jokenya. Lain lagi dengan Jokowi, dia jawab caci maki dengan karya nyata. Pemimpin perempuan marah yang minta ampun, bisa seharian semua jadi salah.
Menurut dia, pemimpin pemarah itu ekspresi diri, anugerah Ilahi. Prifko akhirnya bingung sendiri batasan pemarah. Justru, dirinya melihat sosok yang tegas. Soal orasi, Prabowo tak sehebat Bung Karno, tapi selama ini, baru Prabowo pidatonya membakar nasionalisme.
3. PENCULIK AKTIVIS '98
Stigma ini selalu muncul setiap jelang pilpres. Informasinya, Prabowo yang menculik para aktivis dengan Tim Mawar. Namun, Andi Arief yang nyaris raib bilang,"Bisa dijawab dari Panglima ABRI (Wiranto) tapi juga bisa ditafsirkan Benny Moerdani begitu yang sering disebut (para penculik)."
Sang korban penculikan asak Lampung itu sendiri bilang tak ingin menyalahkan Prabowo saja terlebih saat dirinya diculik Prabowo tak lagi menjabat Danjen Kopassus. "Tak fair hanya menyalahkan Prabowo. Betul, dia terlibat, tapi tak mungkin sendiri," kata Andi Arief.
4. KISAH CINTANYA DENGAN TITIEK
Prifko memulai bagian tulisannya dari kisah percintaan klasik yang selalu diwarnai penderitaan dan pengorbanan. Sampek Engtay memilih berkorban jadi kupu-kupu, Pengeran Guruminda turun dari khayangan ke bumi berkorban jadi Luntung Kasarung untuk mendapatkan cinta Putri Purbasari.,
Film Titanic, Jack Dawyson rela tewas kedinginan agar Rose DeWitt Bukater selamat. Bisa jadi, kisah cinta Titiek dan Prabowo juga salah satu kisah romansa. Mereka tidak dipisahkan karena perselingkuhan atau rebutan harta warisan. Kedua lebih tepat berpisah karena politik, Soeharto turun karena menantunya memilih membiarkan mahasiswa menduduki Gedung DPR RI ketimbang banyak mahasiswa jadi martil.
Saat hendak membuka tulisan akhir berjudul "Mengapa Harus Prabowo", saya terjaga mendengar suara awak pesawat yang meminta penumpang menyandarkan badan karena pesawat siap-siap mendarat ke bumi. Oala, tak terasa, saya sudah terbang 30-an menit bersama Si Gemoy di lapisan troposfer, untung tak sampai stratosfer, mesosfer, termosfer hingga eksosfer dibawa Prifko.
Bumi semakin dekat, saya berharap ketemu Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan atau orang-orangnya setegak lurus Prifko Yuhady membela Prabowo Subianto. Trimakasih Rene Semuluyan dan Muhammad Tahta RYu yang sudah repot-repot mengirimkan buku Rene Semuluyan dan Muhammad Tahta RY ke kantor sederhana saya. Tabiik puuun!
Post a Comment