Dosen STKIP PGRI Lampung Jadi Tersangka Kekerasan Seksual, Damar Minta Dihukum Berat dan Pemecatan



BANDAR LAMPUNG - Perkumpulan Damar menyebutkan penetapan tersangka dosen HS dari Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan (STKIP) PGRI Lampung oleh Polda Lampung menunjukkan tidak ada ruang aman untuk perempuan di kampus. Makna ruang aman di kampus bukan hanya terkait kegiatan atau aktivitas secara kehadiran di lingkungan kampus.

Namun mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi lebih luas dari sekedar ruang di dalam kampus. "Makna ruang menunjukkan lebih kepada pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi baik di dalam atau di luar kampus," kata Tim Penanganan Kasus Perkumpulan Damar, Sely Fitriani, dalam siaran pers, Kamis (16/11/2023).

Pada Pasal 7 Permendikristek ini pun salah satu upaya pencegahan kekerasan seksual adalah dengan membatasi pertemuan di luar kampus. "Terjadinya kegiatan di luar kampus STKIP PGRI yang berujung pada kekerasan seksual merupakan catatan tersendiri terhadap mekanisme pencegahan dan penanganan yang perlu diperhatikan kampus," kata Sely.

Kasus ini dilaporkan pada 4 Agustus 2023 dan November 2023, HS ditetapkan sebagai tersangka. "Dalam jangka waktu tersebut tentunya korban mengalami ketidakpastian sekaligus penderitaan mengingat pelaku baru ditetapkan sebagai tersangka pada bulan ini," kata Sely.

Penetapan status tersangka HS ini juga harus dipahami dalam kacamata relasi kuasa karena terjadinya ketimpangan yang memudahkan pelaku memanfaatkan posisinya sebagai dosen untuk memperdaya dan melakukan tindakan kekerasan seksual. Atas dasar pertimbangan tersebut, Perkumpulan Damar Lampung memberikan pernyataan mengapresiasi Polda Lampung yang menetapkan tersangka kepada dosen HS. Dasar penetapan tersangka ini menjadi awalan untuk komitmen untuk menciptakan ruang aman khususnya di lingkup kampus.

Bagi korban, tindak pidana kekerasan seksual berdampak pada penderitaan fisik, mental, kerugian ekonomi, dan atau kerugian sosial. Peristiwa kekerasan seksual di kampus membuktikan bahwa ruang publik seperti kampus pun tidak memiliki ruang aman dan justru membangun kerentanan dan ketidaksetaraan bagi perempuan.

Pelaku dari orang terdekat dan dikenali korban menunjukkan pula bahwa kondisi diperparah dengan adanya relasi kuasa yang terjadi di lingkungan kampus. Sebagaimana dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) bahwa kejahatan yang dilakukan oleh tersangka merupakan bagian dari relasi kuasa karena memiliki kedudukan, kewenangan, kepercayaan atau hubungan keadaan, kerentanan, ketidaksetaraan, ketergantungan sehingga mendapatkan keuntungan atau memanfaatkan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain.

Dalam kasus ini juga Perkumpulan Damar mendukung Polda Lampung dan Kejaksaan Tinggi Lampung untuk memperhatikan Pasal 12 sebagai pemberatan karena adanya pemanfaatan posisi, kedudukan, dan kewenangan dosen kepada korban mahasiswi. Secara tegas juga dalam Pasal 15 UU TPKS disebutkan penambahan 1/3 jika salah satunya dilakukan oleh pelaku yang berprofesi sebagai pendidik.

"Unsur dalam kedua pasal tersebut terpenuhi ketika mengacu pada peristiwa kekerasan seksual yang terjadi mengingat pelaku adalah dosen sedangkan korban adalah mahasiswanya," kata Sely.

Perkumpulan Damar pun mendukung Polda Lampung dan Kejati Lampung untuk memperhatikan restitusi sebagai bagian dari pidana penjara yang diancam lebih dari empat tahun dan restitusi hak bagi korban sebagaimana dalam Pasal 30 UU TPKS. Kerugian bagi korban yang harus diganti melalui restitusi adalah kekayaan atau penghasilan, akibat dari penderitaan akibat Tindak Pidana Kekerasan Seksual, penggantian biaya medis/psikologis, atau kerugian lain yang timbul.

Pihaknya juga mendorong dan mendukung Polda Lampung dan Kejati Lampung untuk mengungkap kemungkinan atau dugaan adanya korban lain dalam kasus ini maupun kasus lain yang ada di kampus. "Mendorong dan mendukung Polda Lampung dan Kejati Lampung untuk mengungkap dan menindak tegas apabila adanya obstruction of justice/upaya mencegah, merintangi atau menggagalkan penyidikan dan penuntutan dalam kasus TPKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 UU TPKS.

Kemudian, mendorong dan mendukung Polda Lampung untuk mengutamakan keselamatan dan kesehatan korban yaitu dengan melakukan penetapan pelindungan sementara bagi korban yang kemudian diikuti dengan permintaan pelindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana diatur dalam Pasal 42, 43, dan 44 UU TPKS. Pada saat pemberian pelindungan sementara ini Polda juga dapat bekerja sama dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak di Provinsi Lampung.

Lalu, mendorong dan mendukung Polda Lampung juga menetapkan mekanisme pembatasan gerak tersangka sampai pada tersangka ditahan sebagaimana diatur dalam Pasal 45 UU TPKS mengingat terdapat potensi intimidasi, ancaman dan/atau kekerasan. Mendorong STKIP PGRI memecat HS pasca ditetapkannya sebagai tersangka sehingga menjadi upaya dan komitmen bagi kampus untuk menciptakan ruang aman dan nyaman bagi mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, warga kampus dan masyarakat umum.

Mendorong STKIP PGRI untuk mengimplementasikan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 yang memberikan mandat pencegahan dan penanganan kekerasan seksual kepada kampus. Melalui pembentukan dan penguatan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. (***)

Post a Comment

Previous Post Next Post