MASYARAKAT NELAYAN LAMPUNG MENUNTUT PEMERINTAH UNTUK MENCABUT PP 26/2023

TENTANG PENGELOLAAN SEDIMENTASI DI LAUT




Masyarakat Nelayan dari Kabupaten Lampung Timur dan Kabupaten Tulang Bawang Bersama WALHI Lampung, LBH Bandar Lampung dan Mitra Bentala Menuntut dicabutnya PP 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dalam Sosialisasi dan Konsultasi Publik Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang selenggarakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan di Swiss-Belhotel Lampung pada hari Kamis 6 Juli 2023.

Ubay Perwakilan Masyarakat Nelayan Menyampaikan Bahwa Kami, nelayan pesisir timur Lampung, menolak dan menuntut untuk dicabut PP 26 Tahun 2023. Karena Nelayan pernah melakukan pemetaan gusungan. Hasilnya, gusungan justru bermanfaat bagi nelayan, yaitu sebagai penahan abrasi hutan mangrove, sebagai pelindung dari ombak/pemecah ombak, sebagai tempat perlindungan pengembang biakan habitat laut, sebagai tempat perlindungan alat usaha nelayan, sebagai tempat perlindungan/Pelabuhan kapal nelayan dan sebagai tempat sentral mata pencarian para nelayan.

Sedimentasi (lumpur berpasir/gosongan) merupakan habitat andalan Perairan Pesisir Timur Lampung. Sedimentasi adalah tempat hidup rajungan dan perikanan lainnya dan tempat berlindung dan untuk berkembangbiak biota laut yang akan terancam dengan adanya PP 26 tersebut. dengan ini Negara harus mengakui pengetahuan dan praktik-praktik masyarakat/nelayan lokal.

Irfan Tri Musri (Direktur) WALHI Lampung menegaskan kehadiran PP 26 Tahun 2023 mempertajam Kriminalisasi terhadap nelayan yang menolak penambangan pasir, karena pada prinsipnya kehadiran PP ini akan semakin memperkuat posisi pertambangan pasir laut yang notabene berada di wilayah tangkap nelayan yang kemudian mendapatkan penolakan dari nelayan dan berakhir pada upaya pengkriminalisasian terhadap nelayan sebagaimana yang selama ini terjadi seperti misalnya aktivitas Penambangan pasir laut jadi pemicu konflik di masyarakat (pada tahun 2016 terjadinya pembakaran dua rumah di Desa Margasari, tahun 2020 terjadinya pembakaran kapal penyedot pasir).

Kemudian Dalam merumuskan kebijakan, Pemerintah sangat perlu mendengar masukan dari nelayan terkait fakta dan temuan di lapangan. PP 26/2023 sama sekali tidak mendengar masukan dari para nelayan. Terbitnya PP 26 tahun 2023 berpotensi menimbulkan kerusakan ekologis wilayah pesisir serta memperparah dampak perubahan iklim dan menghilangkan potensi blue carbon (karbon biru). Yang pada akhirnya PP 26 tahun 2023 semakin melegitimasi penambangan pasir laut di Provinsi Lampung yang mengancam keberlangsungan lingkungan hidup di wilayah pesisir serta menghilangkan hak – hak masyarakat nelayan atas lingkungan yang baik dan berkelanjutan dan semakin meminggirkan nelayan – nelayan kecil.

Di penghujung kegiatan sosialisasi tersebut Irfan menyampaikan bahwa PP nomor 26 tahun 2023 ini sudah sangat jelas bagaimana orientasinya yang sangat terang benderang mengarah pada sektor ekonomi semata dan menargetkan untuk pengambilan pasir laut.

LBH Bandar Lampung yang dalam hal ini diwakili oleh Direktur Sumaindra Jarwadi yang juga turut mengawal masyarakat dalam aksi spontan tersebut memberikan tanggapan bahwa dengan adanya PP 26 tahun 2023 ini justru akan semakin memperparah perampasan ruang hidup dan penghidupan nelayan kecil terutama yang hari ini mencari nafkah di pesisir timur laut Lampung. Mengingat konflik yang terjadi sudah berlangsung sejak tahun 2016 sudah banyak memakan korban dengan adanya kriminalisasi masyarakat yang hari ini konsisten menolak aktifitas penambangan pasir laut di wilayah tangkap mereka.

PP ini diduga sebagai aturan yang terselubung untuk memudahkan pengusaha untuk mengeruk pasir laut dengan dalih pengelolaan hasil sedimentasi laut yang hasilnya digunakan untuk melakukan reklamasi dan ekspor ke luar negri. Jangan sampai PP 26 tahun 2023 ini menjadi alat untuk melegitimasi aktifitas-aktifitas korporasi yang selama ini merusak ekosistem laut di pesisir teluk lampung dan berkonflik dengan nelayan kecil.




Mashabi dari Mitra Bentala juga menolak PP 26 Tahun 2023. Peraturan ini berpotensi merusak kawasan pesisir dan mengancam kehidupan para nelayan. Bahwa perairan Pesisir Timur merupakan lumbung perikanan: kehadiran PP 26/2023 mengancam ekosistem laut yang dapat menghilangkan mata pencarian utama nelayan.

Provinsi Lampung merupakan salah satu penghasil rajungan utama di Indonesia. Secara nasional pada tahun 2019-2020 , Lampung berkontribusi sekitar 10-12% dari total ekspor Indonesia, dimana Lampung menempati urutan ke tiga setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah (BKIPM, 2021).

Daerah penghasil utama rajungan Lampung terletak di pesisir timur Lampung meliputi 3 kabupaten yaitu Lampung Timur, Lampung Tengah dan Tulang Bawangdengan nilai ekspor Rajungan dari Pesisir Timur Lampung sejumlah 500 M. kegiatan ini nantinya akan menimbulkan dampak terhadap Jumlah Nelayan dan Masyarakat yang tergantung pada kegiatan perikanan rajungan sekitar 1.100 kapal nelayan kecil dengan ukuran kapal kurang dari 5 GT dan menggunakan alat tangkap utama jaring dan sebagian kecil bubu. Jumlah total nelayan rajungan di Lampung sekitar 4.000 orang.

Di sektor hilir, kegiatan pasca panen perikanan rajungan melibatkan lebih dari 2.000 orang pekerja yang bekerja di lebih 20 unit miniplant rajungan dan 5 unit pengolahan ikan (UPI) sekaligus sebagai eksportir rajungan. Keseluruhan miniplant tersebut terletak di desa-desa pusat pendaratan rajungan dan merupakan UMKM yang memperkerjakan sebagian besar tenaga kerja perempuan tentu ini harus menjadi pertimbangan oleh negara dalam mengambil keputusan.

Berikut alasan WALHI Lampung bersama dengan nelayan menolak PP 26 Tahun 2023 :

1. Sendimentasi (lumpur berpasir/gosongan) merupakan habitat andalan Perairan Pesisir Timur Lampung. Sedimentasi adalah tempat hidup rajungan dan perikanan lainnya dan tempat berlindung dan berkembangbiak biota laut.

2. Jumlah Nelayan dan Masyarakat yang tergantung pada kegiatan perikanan rajungan sekitar 1.100 kapal nelayan kecil dengan ukuran kapal kurang dari 5 GT dan menggunakan alat tangkap utama jaring dan sebagian kecil bubu. Jumlah total nelayan rajungan di Lampung sekitar 4.000 orang. Di sektor hilir, kegiatan pasca panen perikanan rajungan melibatkan lebih dari 2.000 orang pekerja yang bekerja di lebih 20 unit miniplant rajungan dan 5 unit pengolahan ikan (UPI) sekaligus sebagai eksportir rajungan. Keseluruhan miniplant tersebut terletak di desa-desa pusat pendaratan rajungan dan merupakan UMKM yang memperkerjakan sebagian besar tenaga kerja perempuan.

3. Provinsi Lampung merupakan salah satu penghasil rajungan utama di Indonesia. Secara nasional pada tahun 2019-2020 , Lampung berkontribusi sekitar 10-12% dari total ekspor Indonesia, dimana Lampung menempati urutan ke tiga setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah (BKIPM, 2021). Daerah penghasil utama rajungan Lampung terletak di pesisir timur Lampung meliputi 3 kabupaten yaitu Lampung Timur, Lampung Tengah dan Tulang Bawang. Nilai ekspor Rajungan dari Pesisir Timur Lampung sejumlah 500 M.

4. Penambangan pasir laut jadi pemicu konflik di masyarakat (pada tahun 2016 terjadinya pembakaran dua rumah di Desa Margasari, tahun 2020 terjadinya pembakaran kapal penyedot pasir.

5. Kehadiran PP 26 Tahun 2023 mempertajam Kriminalisasi terhadap nelayan yang menolak penambangan pasir. Hal ini pernah terjadi di Kampung Kuala Teladas (Tulang Bawang) dan Desa Margasari (Lampung Timur).

6. Dalam merumuskan kebijakan, Pemerintah perlu mendengar masukan dari nelayan terkait fakta dan temuan di lapangan. PP 26/2023 sama sekali tidak mendengar masukan dari para nelayan.

7. Nelayan Labuhan Maringgai Lampung Timur pernah melakukan pemetaan gusungan. Hasilnya, gusungan justru bermanfaat bagi nelayan:

a. sebagai penahan abrasi hutan mangrove

b. sebagai pelindung dari ombak/pemecah ombak

c. sebagai tempat perlindungan pengembang biakan habitat laut

d. sebagai tempat perlindungan alat usaha nelayan

e. sebagai tempat perlindungan/Pelabuhan kapal nelayan

f. sebagai tempat sentral mata pencarian para nelayan

8. Negara harus mengakui pengetahuan dan praktik-praktik masyarakat/nelayan lokal.

9. Terbitnya PP 26 tahun 2023 berpotensi menimbulkan kerusakan ekologis wilayah pesisir serta memperparah dampak perubahan iklim dan menghilangkan potensi blue carbon.

10. Bahwa PP 26 tahun 2023 melegitimasi penambangan pasir laut di Provinsi Lampung.

Narahubung: Edi Santoso (085268670761)

Post a Comment

Previous Post Next Post