"Gedor" Sana-Sini Ala FGD Desa Kawasan Hutan Lampung, Golkan Perjuangan PPTKH (2)



BANDARLAMPUNG - Cilukba! Bukan cuma lagu anak legendaris, Cilukba atau yang dalam bahasa Inggris disebut Peekaboo dilafalkan Peek-a-boo, bentuk permainan yang terutama dimainkan bareng bayi, satu pemainnya sembunyikan wajah --menutup dengan tangan atau "nyumput" di balik benda tertentu lalu tetiba muncul lagi ke pandangan yang lain, lalu pekikkan Cilukba!

Redaksi memakai Cilukba, sekadar ilustrasi pengingat, bahwa seni kehidupan serba pragmatis, serba halal haram hantam, dan serba kanibal, dengan hegemoni patologi sosial --meminjam istilah Thomas Hobbes (1588-1679 Masehi) dalam Leviathan: homo homini lupus (manusia satu adalah serigala bagi manusia lain) bukannya homo homini socius (manusia satu adalah 'kance' bagi manusia yang lain), ditemukenali acapkali menenggelamkan niat tulus barang sesiapa saja yang seringkali tak mulus, lantaran besarnya daya tarik sang penggoda.

Mulai dari Iming-iming priveliges (fasilitas, jabatan, kompensasi, hingga fulus) konsesi (sogokan) maut duniawi, hadiah bonus bagi jerembab telikung aspirasi, perselingkuhan kepentingan, penyalahgunaan wewenang, hingga persekongkolan jahat manfaatkan jurus pendekatan kekuasaan yang ada saja, tak tahu darimana rimbanya, sekonyong bak jelangkung: datang tak diundang, pergi tak berbayang, demi meredam efek ganda nilai bagus sebuah proses tulus perjuangan.

Pun dia, pendulum misterius berperawakan sedang kini tak lagi kurus (identifikasi fisik yang entah kenapa secara hikayat kerap disematkan pada diri seorang aktivis), sang Koordinator Presidium Focus Group Discussion Desa Dalam Kawasan Hutan di Provinsi Lampung, disingkat disekaliguskan nama elemen juang, FGD DKH Lampung, ini.

Dan ulah sungguh-sungguh bersungguh, menyelami ketulusan demi kegigihan elan vital perjuangannya hari-hari ini 'mumpung sehat' dengan bekal percaya hari-hari esok adalah milik kita, sesuatu yang niscaya.

Redaksi akan ajak kembali pembaca, nanti, mengulik dan sigi habis, motif apa dibalik kasak-kusuk dan geradak-geruduknya mau capai begadang, membakar BBM keliling desa-desa kawasan hutan, di Lampung ini, bak abodemen antar jemput berkas penting, rakyat desa pendamba tuntas PPTKH.

Sebelum jauh melepas sauh hingga bernas berlabuh kesana, (memahami si dia hingga utuh), usai latar sejarah dan lajur kebijakan afirmasi pemerintah Indonesia wabil khusus di era dua periode kepemimpinan nasional pemerintahan partisipatif-teknokratik Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2014 seputar program Reforma Agraria nasional.

Yuk kita lanjut mendedah proses, progres, dan barang satu-dua protes pengiringnya, berikut barang dua-tiga prokudes (produk unggulan desa) hasil hutan baik pohonkayu mau pun nonkayu asal desa dalam kawasan hutan yang telah dapat bertransformasi jadi pemodelan kisah sukses dan praktik baik, desa dan rakyat perdesaan dalam kawasan hutan, pengakses skema Perhutanan Sosial pun TORA dari program Reforma Agraria itu.

Hutan lindung terlindung, hutan produksi lestari, rakyat desa kawasan berseri. Atau per tagline bestari ala Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen-LHK): usaha tumbuh, hutan tetap lestari.

Proses

Mahadata Kemen-LHK merinci, pada 2022 eksisting total luas kawasan hutan Indonesia mencapai 125.795.306 hektare (Ha) atau setara dengan 62,97 persen dari luas daratan Indonesia sebesar 191,36 juta Ha, dengan panjang batas 373.828,44 kilometer (KM) terdiri dari 284.032,3 KM batas luar dan 89.796,1 KM batas fungsi kawasan hutan.

Perinci bentuk, kawasan hutan di Indonesia meliputi daratan seluas 120,47 juta Ha, dan kawasan hutan perairan seluas 5,32 juta Ha.


Perinci jenis terbagi lima. Pertama, kawasan hutan lindung --notabene terluas di Indonesia, yaitu 29,56 juta Ha setara 23,5 persen dari total kawasan hutan secara nasional.

Kedua, kawasan hutan produksi tetap seluas 29,23 juta Ha. Ketiga, kawasan hutan yang masuk ke dalam konservasi seluas 27,41 juta Ha. Keempat, hutan produksi terbatas seluas 26,8 juta Ha. Kelima, hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 12,79 juta Ha.

Data luasan ini, terhitung susut seluas sekitar 21,26 juta Ha bila merujuk pada total luas kawasan hutan Indonesia mulai dari masa hutan register seluas 147 juta Ha.

Berlanjut penyusutannya saat rezim Orde Baru mengintroduksi konsepsi Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) awal tahun 1980 dimana luas hutan Indonesia menjadi 134 juta Ha.

Termutakhirkan, melalui rancang bangun rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan padu serasi hutan serta tata ruang sekitar tahun 2006 menjadi seluas 125,7 juta Ha.

Progres

Olah data capaian kinerja usaha sektor kehutanan tahun 2022, berdasar enam indikator kinerja yakni penanaman; akses legal masyarakat; produksi kayu bulat; ekspor produk hasil hutan; Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Pemanfaatan; dan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP), capaian usaha sektor pengelolaan hutan lestari 2022 disebut tergolong baik.

Untuk target peningkatan produktivitas hutan melalui penanaman dan pengayaan kawasan hutan 403 ribu Ha, terealisasi 591.761 Ha (146,84 persen). Target luas pemanfaatan hutan berbasis masyarakat 15 ribu Ha, terealisasi 16,797 Ha (111,98 persen).

Target: jumlah produksi kayu bulat 55 juta M3 terealisasi 54,66 juta M3 (99,38 persen), nilai ekspor produk industri hasil hutan USD9,75 miliar terealisasi USD14,00 miliar (143,59 persen), nilai PNBP dari pemanfaatan hutan Rp3,199 triliun terealisasi Rp3,04 triliun (95,03 persen), dan nilai SAKIP 81 poin terealisasi 81,39 poin (100,48 persen).

Terkait proses penataan kawasan hutan sejauh ini, sependek amatan, Kemen-LHK serius menyelesaikan penataan kawasan hutan, mematok target 100 persen 2023 ini.

Sebagaimana tekad terpancang Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar agar supaya kementerian pimpinannya berkemampuan memenuhi target terpatok, saat ia meluncurkan taja Penyelesaian Tata Batas Menuju Penetapan Kawasan Hutan 100% Tahun 2023, di Gedung Manggala Wanabakti Kemen-LHK, Jl Gatot Subroto, Jakarta, pada 30 Januari 2023.

Ada pun, Kepala Biro Humas Kemen-LHK, Nunu Anugrah melaporkan, sang menteri memulai dengan menyebut, bisa dikatakan bahwa soal pengukuhan kawasan hutan hampir selalu jadi alasan pembenar/justifikasi perilaku jahat perambahan kawasan hutan.

Lahirnya Omnibus Law, UU 11/2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) telah memberikan jalan keluar dari kombinasi kerja antara UU 41/1999 tentang Kehutanan dan UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dimaksud untuk mengatasi masalah yang telah berdekade berlangsung, tak kunjung terselesaikan oleh pemerintah.

UU Ciptaker, menegaskan norma-norma penyelesaian permasalahan penggunaan dan pemanfaatan hutan secara ilegal, yang secara teknis lalu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Denda Administratif Di Bidang Kehutanan, yang diklaim, jelas sudah dapat memberikan langkah penyelesaian.

Lantas dari itu Kemen-LHK membidik. "Sesuai Undang-Undang Cipta Kerja, pada November 2023 diproyeksikan sudah ada penyelesaian (tata batas kawasan hutan) yang konkrit dan menyeluruh,” lugas Siti.

Per data eksisting, sampai Desember 2022 Kemen-LHK telah melakukan penataan batas kawasan hutan sepanjang 332.184,0 KM setara 88,88 persen, terdiri atas penataan batas luar kawasan hutan 242.387,8 KM (65 persen), dan penataan batas fungsi kawasan hutan sepanjang 89.796,1 KM (24 persen).

Sedang realisasi penetapan kawasan hutan hingga Desember 2022 seluas 99.659.996 Ha yang terbagi atas 2.328 unit Surat Keputusan (SK) Penetapan Kawasan Hutan.

Khusus untuk tahun 2022 lalu, telah dicapai penetapan kawasan hutan seluas 10.006.045 Ha terdiri 179 SK Penetapan Kawasan Hutan, sebagai bentuk keseriusan penyelesaian percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan.

Siti, dua periode Menteri LHK sampai detik ini sejak dilantik pertama era Kabinet Kerja 27 Oktober 2014 lanjut Kabinet Indonesia Maju 20 Oktober 2019 ini bangga, terjadi lonjakan signifikan luas penetapan kawasan hutan 10 tahun terakhir hingga jadi total 79,2 persen dari total luas kawasan hutan Indonesia.

Praktis, 2023 ini tersisa seluas 26.137.830 Ha yang akan ditetapkan. Dalam rangka semangat pengukuhan kawasan hutan sesuai amanat UU Ciptaker, khusus di 2022 sebagai bentuk keseriusan penyelesaian percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan, dicapai Penetapan Kawasan Hutan seluas 10.005.244 Ha, terdiri dari 178 SK.

Diilustrasikan, dalam pelaksanaan kegiatan penataan batas kawasan hutan di lapangan, melibatkan Panitia Tata Batas, yang terdiri dari tujuh hingga delapan dinas/instansi.

Mulai dari, unit pelaksana teknis dibawah Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (Ditjen PKTL) Kemen-LHK yang bertugas melaksanakan pemantapan kawasan hutan, penilaian perubahan status dan fungsi hutan, serta penyajian data dan informasi sumber daya hutan, yang kini ada 22 unit se-Indonesia masing-masing dipimpin Kepala jabatan eselon III: Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH).

Salah satunya di Lampung, BPKH Wilayah XX Bandarlampung namanya, yang berkantor di Jl Raden Gunawan Nomor 41, Kelurahan Hajimena, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan.

Selain BPKH, juga Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi, Badan yang diserahi tugas dan tanggung jawab bidang Penataan Ruang tingkat Kabupaten/Kota, Kantor Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten/Kota, Bagian Tata Pemerintahan (Tapem) Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota, UPT lingkup Kementerian, Camat setempat, plus instansi yang membidangi kelautan, pesisir dan pulau kecil apabila terletak di wilayah kawasan konservasi perairan.

Pada sudut lain, Menteri LHK bilang bahwa penyelesaian tata batas kawasan hutan ini merupakan sebuah perjalanan yang sangat panjang, dan didalamnya terus mendapatkan arahan intens dan bimbingan dari lembaga antirasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi.

“Sangat dapat dipahami," Siti melugasi ini jadi salah satu fokus upaya pemberantasan tindak pidana korupsi sektor sumber daya alam.

"Sebab, banyak permasalahan di lapangan terutama dari pihak-pihak avonturir dan oportunis yang mengambil persoalan tata batas sebagai alasan mereka melakukan kejahatan kehutanan seperti perambahan, pembalakan liar dan penguasaan kawasan secara ilegal,” beber ia Januari lalu itu, seraya berterima kasih ke Panitia Tata Batas se-Indonesia dan pemangku baik pemerintah pusat-daerah hingga tapak, mengapresiasi semua pihak yang telah mendukung dan berkontribusi bagi tercapainya progres penetapan kawasan hutan.

“Pekerjaan lapangan seperti ini hampir selalu tidak mudah, meski pun juga tidak selalu sulit, yang kita lakukan ini dengan penataan batas dan pemantapan kawasan hutan tidak lain upaya melindungi segenap tumpah darah dan bangsa Indonesia!” seru pensiunan PNS, peniti karir sejak 1981 di Bappeda Lampung, mulai dari Kasubbid Analisis Statistik, Kasi Penelitian Fisik, Kasi Pengairan, Kasi Tata Ruang, Kabid Penelitian, Kabid Prasarana Fisik, hingga Wakil Kepala Bappeda, hingga puncak karir PNS-nyi, menjabat Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI 2006-2013 ini, melugaskan.

Ia bilang, tugas kerja cukup berat itu akan jadi tonggak kokoh menuju Sustainable Forest Management dan tata kelola kehutanan untuk menjadi kejelasan hak dan kewajiban masyarakat serta keberpihakan nyata pada masyarakat, menjadi kejelasan dan ketegasan dalam berinteraksi dengan dunia internasional dan dalam menjawab beragam isu yang dialamatkan kepada Indonesia sebagai negara dengan kekuatan hutan tropis di dunia.

Direferensikan, Pengukuhan Kawasan Hutan merupakan rangkaian kegiatan Penunjukan Kawasan Hutan, Penataan Batas Kawasan Hutan, Pemetaan Kawasan Hutan, dan Penetapan Kawasan Hutan, yang ditujukan untuk memberikan kepastian hukum atas status, letak, batas, dan luas kawasan hutan.

Pengukuhan Kawasan Hutan ini, diawali dengan Penunjukan Kawasan Hutan, yakni penetapan awal peruntukan suatu wilayah tertentu sebagai Kawasan Hutan, dimana penunjukannya itu dilandasi kesepakatan multipihak dan instansi terkait pemanfaatan dan penggunaan lahan yang dimulai era 80-an disebut Tata Guna Hutan Kesepakatan.

Sesudah itu, tahapan kedua, Penataan Batas Kawasan Hutan yang meliputi kegiatan proyeksi batas, pemancangan patok batas, pengumuman hasil pemancangan batas ke masyarakat sekitar batas kawasan selama 30 hari, inventarisasi, dan penyelesaian Hak Pihak Ketiga, pemasangan Pal dan Tugu Batas, pengukuran, dan pemetaan, serta pembuatan Berita Acara Tata Batas.

Hasil Penataan Batas Kawasan Hutan ini selanjutnya dipetakan melalui Pemetaan Kawasan Hutan, dan dilakukan Penetapan Kawasan Hutan melalui Keputusan Menteri.

Disebutkan, pengumuman dan identifikasi Hak Pihak Ketiga dalam pelaksanaan tata batas luar kawasan hutan, dimaksud untuk memastikan batas Hak Pihak Ketiga di sepanjang Trayek Batas Kawasan Hutan.

Menteri Siti optimistis bahwa penataan batas kawasan hutan secara nasional bisa rampung hingga 100 persen pada tahun ini.

Lampung bagaimana? Delivered, penataan batas kawasan hutan di Lampung telah dilakukan Pemerintah Provinsi setempat sesuai tahapan, pengukuran, pemetaan.

"Berlaku untuk semua jenis hutan, seperti hutan kawasan register, produksi, lainnya," kata Asisten II Setdaprov Lampung Bidang Ekonomi dan Pembangunan, Kusnardi, di Bandarlampung, 3 Februari 2023, seperti dikutip dari Antara.

Kusnardi menambahkan soal pengumuman hasil pemancangan batas yang diumumkan kepada masyarakat sekitar batas kawasan selama 30 hari, dilakukan untuk beri batas antara pemanfaatan dan melindungi hutan.

"Jadi untuk mencegah adanya pembalakan liar," poin dia, bila dalam penataan ditemukan ketidaksesuaian batas area hutan, sanggahan bisa disampaikan, pengukuran ulang dapat dilakukan.

Sementara itu, progres capaian realisasi target Percepatan Redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) yang bersumber dari pelepasan kawasan hutan oleh Kemen-LHK dan Kemen-ATR/BPN, juga terungkap dalam Webinar GTRA Summit #RoadtoKarimun seri ke-5 tema Tantangan Percepatan Redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dari Pelepasan Kawasan Hutan, yang ditaja oleh GTRA (Gugus Tugas Reforma Agraria) Kemen-ATR/BPN, pada Kamis 22 Juni 2023 lalu.

Dalam seri Webinar GTRA Summit, wadah diskusi berpuncak di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, Agustus nanti ini, mengurai bareng dan cari solusi terbaik atasi sejumlah persoalan yang dihadapi dalam pelaksanaan Percepatan Redistribusi TORA yang bersumber dari pelepasan kawasan hutan.

Dirjen Penataan Agraria, Kemen-ATR/BPN, Dalu Agung Darmawan bilang, dari 4,5 juta Ha target Redistribusi Tanah yang harus dicapai Kemen-ATR/BPN bersumber dari 400 ribu Ha asal tanah eks Hak Guna Usaha (HGU) dan tak diperpanjang, tanah telantar, tanah negara lain yang dikuasai dan lainnya, capaian Juni 2023 overtarget, 332 persen.

Sedangkan target 4,1 juta Ha dari pelepasan kawasan hutan, yang baru terealisasi adalah seluas 348 ribu Ha setara 8,51 persen.

Dirjen Dalu mengintensi itu menjadi perhatian pihaknya, bersama jajaran Kanwil BPN dan Kantor Pertanahan se-Indonesia. Dia berharap bisa diidentifikasi lebih lanjut. Dia melaporkan, 1,6 juta Ha telah jadi Areal Penggunaan Lain (APL) dari hasil pelepasan kawasan hutan.

Tetapi, melihat output dari Kemen-ATR/BPN harus berupa sertipikat, data masuk belum terhitung dalam data capaian redistribusi TORA dari kawasan hutan dan cuma bisa jadi potensi yang dapat langsung ditindaklanjuti agar segera clean and clear sehingga target penyertipikatan dapat terlaksana.

"Ini merupakan ikhtiar Bapak Ibu percepat redistribusi bersumber dari pelepasan kawasan hutan karena target kita, sertipikat. Sehingga harus betul-betul clean and clear. Memang kita juga terkendala oleh berbagai aturan, mudah-mudahan Rancangan Peraturan Presiden yang kemarin kita bahas, menghasilkan turunan kebijakan percepatan TORA di kawasan hutan ini,” talu Dalu. Yang sekaligus, 'membocorkan' tak lama lagi bakal terbit Perpres baru terkait prosesi eksekusi.

Webinar yang diikuti oleh Kakan Pertanahan Kabupaten/Kota se-Indonesia, utusan Kantor Staf Presiden (KSP), Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Kemendagri, dan umum itu juga hadirkan narasumber lainnya, Asisten Deputi Penataan Ruang dan Pertanahan, Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang, Kemenko Perekonomian, Kartika Listriana; Dirjen PKTL Kemen-LHK, Ruandha Agung Sugardiman; dan Kakanwil BPN Kalimantan Barat, Andi Tenri Abeng; dan dimoderatori oleh Direktur Landreform, Ditjen Penataan Agraria Kemen-ATR/BPN, Dadat Dariatna.

Didapuk bicara, Dirjen PKTL Kemen-LHK, Ruandha Agung Sugardiman, mengungkap kinerja pihaknya menyelesaikan percepatan redistribusi TORA dari pelepasan kawasan hutan, dimana progres TORA dari Kemen-LHK mencapai 70 persen sampai Juni 2023.

“Jika catatan Kementerian ATR/BPN baru 8,5 persen, di catatan kami agak sedikit berbeda. Kami sudah 70 persen karena kami memang sudah lakukan sampai tata batas dan pelepasan," kuak Ruandha.

Mengapa belum sampai 100 persen atau paling tidak seperti yang diharapkan, pak?

"Karena setelah dilepaskan, kemudian harus disertipikatkan name by name, sehingga itu akan menjadi target kita di akhir kegiatan pelepasan kawasan hutan ini. Nah, ini yang akan kita lakukan pada enam bulan terakhir ini, sehingga akan mencapai target yang sudah ditetapkan,” jembreng dia.

Lantas, apa strategi yang dilakukan oleh Kemen-LHK demi mempercepat redistribusi TORA dari pelepasan kawasan hutan ini?

Salah satunya adalah dengan membentuk Tim Pelaksana Peta Indikatif Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Rangka Penataan Kawasan Hutan (PPTPKH) dan Tim Inver PPTPKH.

“Prioritas TORA yang kami lakukan tahun ini sudah betul-betul detail dan ini memerlukan dukungan semua pihak menyelesaikan ini,” harap Ruandha, senada harapan, sekaligus bak oase sejuk bagi ratusan ribu rakyat perdesaan di 25.863 desa sekitar kawasan hutan termasuk 500-an desa di Lampung, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2021 dan dengan 36,7 persen di antaranya termasuk kategori miskin.

Kawasan Hutan Lampung

Data lama 23 tahun silam, data Dishut Provinsi Lampung mencatat, luas kawasan hutan di Lampung adalah 1.004.735 Ha, berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun) Nomor 256/Kpts-II/2000 tarikh 23 Agustus 2000, dengan persentase luas kawasan hutan terhadap luas daratan Lampung setara 28,45 persen.

Dan, terafirmasi, sekitar 564 ribu Ha di antaranya dapat dikelola. Sekali lagi, sekitar 564 ribu Ha di antaranya, dapat dikelola.

Data luasan 1 juta Ha lebih di atas, seperti pernah diekspos oleh pengampu cabang, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Lampung Mukri Fiatna 29 Maret 2006 silam, susut sekira 232.533 Ha dari total luas kawasan hutan di Lampung berdasar penunjukan oleh Menteri Kehutanan medio 1991 silam seluas 1.237.268 Ha atau 37,48 persen luas daratan Lampung.

Pertanyaan kritisnya: kemana susutnya, kemana larinya, kemana lari susutnya luas kawasan hutan tersebut kurun 1991-2000?

Ulah penting kiranya untuk dapat diketahui secara utuh bin jernih terutama oleh para generasi milenial, zilenial bahkan platinum dewasa ini, redaksi akan ulas tersendiri lengkap dengan keharusan sebut nama lazim yang disapa Pak Oe, plus rekor nasional jumlah total lahan yang alih status sekaligus menjadi epitaf kelak dalam sejarah wiracarita perlawanan sistemik konflik agraria bukan cuma di Lampung, tetapi juga di Indonesia.

Lanjut, menuju delapan warsa kemudian tepatnya tahun 1999, dimana luas kawasan hutan Lampung menyusut menjadi 1.144.512 Ha atau 34,67 persen dari luas daratan Lampung, tempo 365 hari saja, tahun 2000 menjadi 1.004.735 Ha atau (beda angka) 30,43 persen dari luas daratan Lampung.

Beber WALHI Lampung, kondisi luas hutan Lampung yang masih tersisa itu umumnya sudah tak lagi berhutan dengan cakupan berkisar 34-80 persen.

"Kondisi hutan yang masih mencapai 66 persen, di antaranya Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Taman Hutan Rakyat (Tahura) Wan Abdul Rahman, dan Cagar Alam laut kawasan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda," ekspos WALHI Lampung pada 29 Maret 2006 itu.

Terkait proses dan progres ini, kini 23 tahun berselang merujuk linimasa SK Menhutbun 256/2000 tarikh 23 Agustus 2000, 17 tahun berselang merujuk ekspos WALHI Lampung 2006, atau tujuh tahun merujuk introduksi program Perhutanan Sosial dan TORA 2016.

Meski angin tak dapat membaca, ratusan ribu rakyat desa, atau disebut pekon di wilayah administratif empat kabupaten (Pringsewu, Tanggamus, Lampung Barat, Pesisir Barat), atau kampung di tiga kabupaten (Lampung Tengah, Mesuji, Way Kanan), atau tiyuh di Kabupaten Tulang Bawang Barat, berdasar asas subsidiaritas UU Desa, dalam kawasan hutan di Lampung, hari-hari ini, juga enggan ketelingsut dan ikut 'mengeja' seturut.

Bunyi dari sepucuk surat Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kemen-LHK Nomor SK.5/PKTL-KUM/PKHK/Pla.2/1/2023 perihal Permintaan Data Subjek dan Objek Pemukiman Fasilitas Sosial dan Fasilitas Umum dalam Kawasan Hutan dan Pembentukan Tim Teknis Per Kabupaten/Kota dalam rangka Kegiatan Tim Terpadu PPTPKH di Provinsi Lampung.

'Darah segar' penyelesaian ternanti, pintu lain, sesemoganya juga demikian, paling tidak sejak otoritarianisme Orde Baru tumbang sampai dengan saat ini. Bersambung. (

Post a Comment

Previous Post Next Post