Ketika Wartawan Mengawal Aksi Rabuan Pekerja Rumah Tangga

RABU lalu (25/1/23) yang lalu ada ketegangan di internal Whatsapps group (WAG) Koalisi Sipil untuk Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT). Ketegangan dipicu oleh laporan para PRT yang sedang aksi di pintu depan Gedung DPR-RI yang dilaporkan real time di WAG Koalisi. Rabu pagi itu lokasi sudah dipenuhi ribuan manusia berseragam coklat yaitu para aparat desa yang sedang menuntut perpanjangan masa kerja dari 5 menjadi 9 tahun.Spanduk tuntutan Aksi Rabuan Pekerja Rumah Tangga di DPR-RI, Jakarta Rabu (25/1). (Ist)





Kedatangan para PRT yang menggunakan kaos berwarna merah langsung menjadi gangguan pemandangan lalu menjadi pusat perhatian para bapak-bapak dan sedikit ibu-ibu saat itu.

“Ada penyusup…!” teriak salah seorang dari dalam kerumunan bapak-bapak itu.

Kontan banyak mata kemudian tertuju pada kelompok 10 orang ibu-ibu PRT yang hendak membelah kerumunan. PRT Dewi cs dari arah TVRI bertekad melintas untuk bergabung dengan PRT Yuni cs yang berada di dekat Kemenhut LHK.

Beberapa pria berseragam coklat memaki-maki rombongan Dewi. Suasana menjadi panas, para Ibu PRT menjadi pusat perhatian orang-orang yang mulai emosional. PRT Dewi mendadak ketakutan dan secara reflek mengacungkan panci kecil dan kemuceng alat untuk aksi Rabuan. Tindakan Dewi segera diikuti seluruh anggota rombongan kecilnya. Mereka berbaris ke ke belakang menyibak kerumunan dengan susah payah.

Nyali para PRT semakin ciut saat beberapa bapak mengangkat kerudung Dewi dan membaca tulisan di punggung Dewi. Tulisan “Peras Saja Cucianmu, Jangan PRT mu” difoto-foto.

Satu orang dari mereka kemudian berteriak “saya bukan PRT!” yang kemudian dibalas dengan teriakan salah satu PRT, “Saya bukan perangkat desa.”

Salah satu dari PRT kemudian mengirim video berisi suasana tegang saat mereka dalam kepungan demonstran perangkat desa. Saya ikut tegang dan mulai berfikir untuk menelpon teman polisi guna mengevakuasi para PRT.

“Tenang mbak, teman-teman sudah biasa menghadapi situasi intimidatif,” teks Lita Jala PRT menenangkan WAG.

Mereka bersikukuh untuk berkumpul bersama untuk tetap melaksanakan aksi Rabuan sesuai rencana. Ada jeda 20 menit mereka berhenti kirim teks lalu kemudian muncul foto-foto mereka membuka spanduk dan sedang berorasi serta beberapa foto dengan payung hitam khas Aksi Rabuan. Mereka rupanya sukses menyibak lautan bapak-bapak perangkat desa.

Sorenya baru Dewi menjelaskan, “Kami ditolong beberapa wartawan yang sedang meliput di lokasi yang sama.” Para wartawan mengancam akan menulis perlakuan buruk kepada para PRT jika mereka melakukannya. Manjur! Para PRT dibiarkan lewat sehingga bisa berkumpul dan mengadakan aksi Rabuan.

Perjalanan panjang RUU PPRT selama 19 tahun bisa bertahan karena bantuan dukungan personal wartawan-wartawan semacam di atas. Beberapa dari mereka mempunyai keterlibatan personal dan bahkan sudah mengikuti isu ini sejak mereka muda. Beberapa wartawan yang sudah menjadi menjadi CEO atau senior management di media-media cetak dan tv hampir semuanya pernah menulis tentang RUU PPRT.

Keberpihakan wartawan karena idealisme ini menjadi darah bagi keberlanjutan advokasi RUU PPRT. Idealisme mereka bisa dalam bentuk tulisan maupun tindakan. Kejadian Hari Rabu itu hanya sekelumit contoh kesetiaan wartawan menemani para Ibu PRT memperjuangkan hak-hak normatif dan konstitusional para PRT yaitu menjaga martabat kemanusiaan para ibu-ibu PRT, para mustad’afin.

Post a Comment

Previous Post Next Post